“Padahal ribuan perempuan menggunakan kontrasepsi hormonal bukan hanya untuk mencegah kehamilan, tetapi juga untuk mengelola kondisi seperti endometriosis,” jelasnya.
Pemilik akun @anisa_azaahra juga menunjukkan bagaimana media sosial memengaruhi diskusi tentang kontrasepsi.
Dalam salah satu postingannya, ia menuliskan, "Setelah melihat berita tentang seorang ibu rumah tangga yang mengalami kebuntuan setelah suntik KB, aku membatalkan niatku untuk menggunakan KB, meskipun itu sudah menjadi takdirnya, tapi sekarang aku jadi takut untuk suntik KB," tulis pemilik akun pada Sabtu (8/10/2024).
Kisah yang dibagikan oleh @mamadiya69 dan @anisa_azaahra menunjukkan bagaimana media sosial memengaruhi ketakutan banyak perempuan terhadap penggunaan kontrasepsi.
Meskipun cerita-cerita ini belum tentu didukung oleh bukti medis yang jelas, namun hal ini sering kali menambah kecemasan dan keraguan perempuan dalam memilih metode kontrasepsi.
Kekhawatiran ini semakin diperburuk dengan minimnya informasi yang akurat dan terpercaya, yang membuat banyak perempuan merasa bingung dan khawatir akan dampak kesehatan yang mungkin timbul.
Menjawab Tantangan dengan Kebijakan
Untuk mengatasi tantangan ini, para ahli kesehatan menekankan pentingnya peningkatan akses terhadap informasi yang valid dan berbasis bukti.
Baca Juga: Mengapa KB Hormonal Bikin Perempuan Gemuk? Simak Penjelasannya!
Melansir dari kemkes.go.id, pemerintah melalui peraturan UU nomor 28 tahun 2024 tentang pelaksanaan undang-undang kesehatan, berupaya meningkatkan layanan promotif dan preventif.
Hal itu berguna untuk mencegah penyakit dalam masyarakat termasuk edukasi tentang kontrasepsi yang aman dan efektif.
Program ini mencakup edukasi tentang sistem dan fungsi reproduksi, menjaga kesehatan reproduksi, perilaku seksual berisiko dan dampaknya, serta pentingnya keluarga berencana dan perlindungan diri dalam menolak hubungan seksual.
Bagi perempuan seperti @mamadiya69 dan @anisa_azaahra, pengalaman mereka di media sosial mencerminkan bagaimana platform ini bisa menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, media sosial menawarkan ruang untuk berbagi pengalaman, tetapi di sisi lain, bisa menimbulkan kekhawatiran berlebihan karena informasi yang tidak terkontrol.
Kendati demikian penting untuk diingat bahwa pada akhirnya, pilihan ada di tangan setiap perempuan.
Namun, keputusan ini harus didasarkan pada informasi yang benar dan konsultasi dengan tenaga medis terpercaya.
Media sosial bisa menjadi sumber inspirasi dan edukasi, tetapi jangan sampai menggantikan peran dokter atau lembaga kesehatan.
Misinformasi mungkin sulit dihindari, namun upaya untuk meningkatkan literasi kesehatan dan memperluas akses informasi berbasis bukti adalah langkah penting untuk memastikan setiap perempuan dapat menjalani hidup dengan lebih sehat dan percaya diri.
Baca Juga: Sudah KB Masih Kebobolan? Begini Menghadapi Kehamilan Tak Terencana
(*)
Ken Devina