Parapuan.co - Kawan Puan, kasus perempuan yang keluhan kesehatannya kurang diperhatikan oleh tenaga medis bukanlah hal baru.
Melansir dari washingtonpost.com, mengungkapkan bahwa bias gender dalam dunia kedokteran kerap mengakibatkan perempuan tidak menerima perawatan yang memadai, termasuk pengobatan untuk meredakan rasa sakit.
Mulai dari prosedur pemasangan IUD hingga diagnosis serangan jantung, pengalaman perempuan sering diabaikan atau salah ditangani.
Ketika Rasa Sakit Perempuan Dianggap Berlebihan
Perempuan sering kali dianggap "berlebihan" atau "histeris" saat menyampaikan keluhan rasa sakit, berbeda dengan laki-laki.
Dalam konteks medis, perempuan cenderung dikaitkan dengan istilah "reaksi emosional," sedangkan laki-laki dipersepsikan sebagai sosok yang "tabah."
Sebagai contoh, seorang perempuan yang menjerit kesakitan selama 33 jam proses persalinan seharusnya mendapat epidural untuk mengurangi nyeri, tetapi obat tersebut terjatuh.
Selain itu, puluhan perempuan yang mengalami rasa sakit luar biasa saat dinding vagina mereka tertusuk selama pengambilan sel telur diberitahu bahwa rasa sakit itu normal, padahal mereka hanya diberikan cairan garam, bukan anestesi.
Baca Juga: Inklusi Gender: Penyetaraan Peran Perempuan dalam Artificial Intelligence
Studi terhadap 981 kunjungan ke ruang gawat darurat menemukan bahwa perempuan dengan nyeri perut akut memiliki kemungkinan hingga 25 persen lebih kecil daripada laki-laki untuk menerima opioid sebagai penghilang rasa sakit.
Rasa Sakit Reproduksi dan Penyakit Serius yang Sering Diabaikan
Dalam bidang kesehatan reproduksi, perempuan sering menghadapi tantangan yang signifikan.
Sebagai contoh, rasa sakit saat pemasangan IUD kerap dianggap sebagai hal yang "normal."
Namun, penelitian di Swedia mengungkapkan bahwa 89 persen perempuan yang belum pernah melahirkan, mengalami rasa sakit sedang hingga berat selama prosedur ini.
Meskipun anestesi lokal tersedia, penggunaannya masih jarang diterapkan.
Banyak perempuan melaporkan bahwa keluhan mereka terkait kesehatan reproduksi, seperti nyeri endometriosis, persalinan, dan pemasangan IUD, sering diabaikan akibat bias terhadap persepsi rasa sakit.
Penelitian juga menemukan bahwa perempuan lebih peka terhadap rasa sakit dibandingkan laki-laki dan cenderung lebih ekspresif dalam mengungkapkannya.
Baca Juga: Perempuan Karier di Industri Teknologi Masih Jadi Minoritas: Hadapi Tantangan Bias Gender
Sayangnya, hal ini sering membuat keluhan rasa sakit mereka dianggap berlebihan daripada sebagai fakta medis yang nyata.
Kasus serupa juga ditemukan dalam kondisi medis serius seperti serangan jantung.
Menurut laporan dari Jurnal Asosiasi Jantung Amerika, perempuan yang mengunjungi unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada harus menunggu 29 persen lebih lama dibandingkan laki-laki untuk diperiksa kemungkinan serangan jantung.
Data ini menunjukkan adanya bias medis yang mendalam terhadap perempuan dalam penanganan kondisi serius.
Langkah Perbaikan dalam Dunia Medis
Bias gender ini tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga psikologis.
Banyak perempuan yang mulai meragukan dirinya sendiri setelah berkali-kali mendengar bahwa rasa sakit mereka "tidak nyata".
Contohnya, seorang perempuan yang akhirnya mengetahui bahwa tumor fibroid di rahimnya adalah sumber nyeri panggul setelah sebelumnya dirujuk ke psikiater oleh sejumlah dokter yang tidak menemukan penyebab keluhan fisiknya.
Kawan Puan, meski tantangan ini besar, ada langkah menuju perbaikan.
Baca Juga: Wamen PPPA Dorong Perempuan Berdaya Ekonomi untuk Putus Rantai Kekerasan
National Institutes of Health (NIH) mewajibkan jenis kelamin untuk dianggap sebagai variabel biologis dalam sebagian besar penelitian yang didanainya.
Selain itu, hampir 95 persen mahasiswa kedokteran Amerika menyatakan bahwa perbedaan gender harus dimasukkan dalam kurikulum medis.
Namun, perjalanan masih panjang, para ahli menekankan bahwa perawatan medis harus fokus pada rasa sakit yang dirasakan pasien, bukan asumsi berdasarkan bias.
Bias gender dalam dunia medis menunjukkan bagaimana kebutuhan perempuan sering kali tidak dianggap serius.
Rasa sakit mereka, baik dalam kondisi kronis maupun akut, sering kali diabaikan atau disalahartikan.
Maka, penting bagi kita, untuk terus memperjuangkan kesetaraan dalam layanan kesehatan.
Tubuh perempuan berhak mendapatkan perhatian yang sama seriusnya seperti laki-laki, tanpa bias atau stereotip yang membatasi.
(*)
Ken Devina