Parapuan.co - Sebagian Kawan Puan mungkin sedang mengikuti atau sudah tahu soal kasus kekerasan seksual yang melibatkan pelaku penyandang disabilitas.
Kasus dugaan kekerasan seksual ini dilakukan oleh penyandang disabilitas berinisial IWAS dari Lombok, Nusa Tenggara Barat.
IWAS diduga melakukan pelecehan terhadap 15 perempuan, dua diantaranya adalah anak-anak.
Terkait kabar viral ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis siaran pers merespons kasus IWAS.
Bertepatan pula dengan pelaksanaan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran tentang pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan.
Namun, kasus ini justru menjadi ironi yang memperlihatkan betapa pentingnya penguatan upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan dalam menghadapi kekerasan seksual.
Oleh karenanya dalam merespons kasus ini, Komnas Perempuan bersinergi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Mengutip siaran pers Komnas Perempuan, Rabu (11/12/2024), ketiga lembaga menyampaikan pandangan bersama untuk mendukung penanganan kasus secara komprehensif, adil, dan berbasis hak asasi manusia.
Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, menyatakan bahwa kasus ini menunjukkan pola dan modus kekerasan seksual semakin beragam.
Baca Juga: KemenPPPA Buat Program Baru, Lindungi Perempuan dan Anak dari Kekerasan
Hal ini menuntut masyarakat untuk lebih waspada dan terus meningkatkan pemahaman terkait pola-pola kekerasan seksual yang sering kali sulit dikenali.
Sekaligus kasus IWAS menjadi momentum mengapresiasi adanya Pedoman Kejaksaan No.2 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak dan Penanganan Perkara yang Aksesibel dan Inklusi bagi Penyandang Disabilitas dalam proses Peradilan.
Veryanto mengatakan, "Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya edukasi publik tentang modus kekerasan seksual yang semakin kompleks."
"Pengetahuan ini penting agar masyarakat dapat mengenali tanda-tanda kekerasan seksual, mencegah terjadinya kekerasan, serta memberikan dukungan yang tepat kepada korban," imbuhnya.
Komnas Perempuan juga menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dalam mendorong lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak, sekaligus meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual secara profesional dan sensitif.
Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, menjelaskan bahwa Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB, yang bertindak sebagai kuasa hukum dan pendamping korban.
Koalisi tersebut terdiri dari empat lembaga yang aktif mendampingi para korban dalam kasus ini.
"Komnas Perempuan terus memantau dan mendalami kasus ini untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," terang Bahrul Fuad.
"Kami juga mendorong agar hak-hak korban, khususnya hak atas pemulihan fisik dan psikologis dapat terpenuhi," katanya lagi.
Baca Juga: Kasus Agus Buntung Buktikan Kekerasan Seksual Bisa Dilakukan Siapa Saja
Komnas Perempuan menegaskan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual tidak hanya sebatas pada proses hukum terhadap pelaku.
Akan tetapi juga memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan pemulihan yang memadai, termasuk layanan psikologis, medis, dan hukum.
Sementara itu, Anggota KPAI sekaligus Pengampu Klaster Anak Korban Kekerasan Seksual, Dian Sasmita, menyampaikan keprihatinannya terhadap dua korban anak dalam kasus ini.
Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya menimbulkan trauma mendalam tetapi juga dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan psikologis mereka.
"KPAI saat ini terus berkoordinasi dengan pihak pendamping kedua anak korban untuk memastikan pemulihan psikologisnya dengan baik," jelas Dian.
"Kami mendorong agar korban mendapatkan layanan psikososial yang memadai dan berkelanjutan untuk membantu mereka pulih dari trauma," ungkapnya.
KPAI juga menekankan pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak melalui edukasi di sekolah dan keluarga, termasuk penguatan nilai-nilai perlindungan terhadap anak di masyarakat.
Juga perlindungan terhadap identitas anak korban sangat penting, termasuk nama, sekolah, dan domisili, mengingat tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku sangat menyita perhatian publik.
Perlindungan identitas anak adalah langkah penting untuk mencegah trauma lebih lanjut yang dapat memperburuk kondisi psikologis anak.
Baca Juga: Saat Pernikahan Pesanan Merenggut Hak Perempuan untuk Memilih
Selain itu, anak korban kekerasan seksual wajib mendapatkan pendampingan hukum yang memadai, serta dukungan psikososial yang berkelanjutan, agar mereka dapat memulihkan diri dan kembali menjadi individu yang positif dalam masyarakat.
Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak yang menegaskan bahwa anak korban kekerasan harus mendapatkan layanan yang cepat dan tepat.
KPAI juga mendesak Kepolisian untuk menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku kekerasan seksual, serta berupaya mengupayakan hak restitusi bagi korban, sebagai bentuk pemulihan atas hak-hak mereka yang telah dirampas.
Lebih lanjut, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna Damanik, menyoroti aspek yang berkaitan dengan status pelaku sebagai penyandang disabilitas.
Berdasarkan hasil koordinasi dengan Komite Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Polda NTB, dan pihak terkait lainnya, diketahui bahwa Polda NTB telah memberikan akomodasi yang layak selama proses hukum terhadap pelaku.
"Polda NTB telah memenuhi prinsip-prinsip akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020," ucap Jonna.
"Beberapa langkah yang dilakukan meliputi penilaian personal terhadap pelaku, penerapan tahanan rumah berdasarkan rekomendasi KDD NTB, serta penyediaan pendamping hukum bagi pelaku selama proses hukum berlangsung," tuturnya.
KND menegaskan bahwa memberikan akomodasi yang layak kepada pelaku tidak berarti mengabaikan hak-hak korban.
Sebaliknya, langkah ini merupakan bagian dari pemenuhan prinsip keadilan inklusif dalam sistem peradilan, di mana semua pihak, baik korban maupun pelaku, diperlakukan sesuai dengan hak-haknya.
Ketiga lembaga sepakat bahwa kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya kolektif dalam melawan kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Penanganan kasus ini harus menjadi contoh bagaimana negara hadir dalam memberikan keadilan bagi korban, sekaligus memastikan proses hukum yang adil bagi semua pihak.
Dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komnas Perempuan, KPAI, dan KND mengajak seluruh pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan media, untuk memperkuat sinergi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.
Baca Juga: Pembunuhan Mahasiswi di Bangkalan, Menteri PPPA Ingatkan Hukuman Berat Pelaku Kekerasan
(*)