Selain tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, solusi semacam ini juga cenderung menambah beban psikologis bagi korban.
“Ini harus diteliti lebih dalam, cara seperti itu tidak cocok dan harus disiapkan solusi yang paling pas,” tegas Sigit.
Menurutnya, penyelesaian kasus kekerasan harus mengedepankan keinginan dan kebutuhan korban, bukan hanya kepentingan pihak-pihak yang terkait.
Dalam hal ini, tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan harus diprioritaskan, sehingga korban tidak merasa dipermalukan atau dibiarkan begitu saja.
Pentingnya Kehadiran Polwan dengan Pendekatan Feminis
Sigit juga menyampaikan bahwa salah satu solusi untuk memperbaiki penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah dengan menambah jumlah personel Polwan (Polisi Wanita).
Kehadiran Polwan yang dibekali dengan pelatihan khusus, termasuk pelatihan dengan pendekatan feminisme, diharapkan dapat lebih sensitif terhadap situasi kekerasan terhadap perempuan.
Dengan pendekatan tersebut, Polwan diharapkan dapat lebih mudah memahami dan meredam potensi konflik yang dapat muncul selama proses hukum berlangsung.
Baca Juga: Mengenal Basaria Panjaitan, Perempuan Pertama yang Jadi Polwan dengan Pangkat Tertinggi
“Polwan memiliki pendekatan yang lebih manusiawi, lebih memahami kondisi perempuan dalam situasi krisis, kehadiran mereka sangat penting, karena mereka bisa membantu menenangkan dan memberikan solusi yang lebih tepat bagi korban,” lanjutnya.
Selain itu, Sigit mengingatkan bahwa proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan harus melibatkan solusi yang tidak memperburuk kondisi korban.
Oleh karena itu, penting untuk terus memperbaiki sistem penanganan kasus kekerasan dan memberikan ruang yang lebih besar bagi korban untuk berbicara dan mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan.
Sigit menekankan, penyelesaian kasus kekerasan harus sesuai dengan harapan korban, serta mengedepankan tindakan tegas dan solusi yang tidak menambah masalah baru.
(*)
Ken Devina