Parapuan.co - Di dunia yang semakin berkembang, peran perempuan masih sering kali dibatasi oleh pandangan sosial yang konservatif.
Di banyak budaya, perempuan dianggap sebagai mesin pembuat bayi, yang tugas utamanya adalah menikah, melahirkan anak, dan mengurus rumah tangga.
Melansir dari theconversation.com, gerakan feminis di berbagai belahan dunia, termasuk Korea Selatan, menunjukkan bahwa banyak perempuan menolak peran tradisional ini dan memperjuangkan hak untuk menjalani hidup sesuai keinginan mereka.
Salah satu gerakan penting yang mencuat di Korea Selatan adalah Gerakan 4B yang menentang ekspektasi sosial mengenai peran perempuan sebagai ibu dan istri dalam struktur patriarkal.
Gerakan 4B: Tantangan Terhadap Peran Tradisional Perempuan
Gerakan 4B atau dikenal juga dengan “4 Tidak” yang muncul di Korea Selatan sejak akhir 2010-an menjadi simbol bagi perempuan muda yang menolak untuk hidup dalam batasan peran gender tradisional.
Gerakan ini bertujuan untuk mengubah cara pandang terhadap perempuan yang selalu dikaitkan dengan keluarga dan reproduksi.
Gerakan 4B muncul sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan perempuan muda yang merasa terkungkung oleh norma sosial yang mengharuskan mereka menjalani kehidupan sebagai istri dan ibu.
Baca Juga: Pilihan Perempuan untuk Childfree Berkaitan dengan Tingkat Edukasi
Beberapa faktor yang mendorong munculnya gerakan ini antara lain ketidakstabilan ekonomi, ketidaksetaraan gender yang terus berlanjut, dan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual digital.
Selain itu, gerakan ini juga muncul sebagai respons terhadap kebijakan negara yang menganggap perempuan hanya sebagai alat untuk meningkatkan angka kelahiran.
Penolakan Terhadap Peran Tradisional sebagai Perlawanan Politik
Protes terhadap kebijakan-kebijakan ini mencerminkan kemarahan terhadap pandangan yang menganggap perempuan hanya berguna sebagai ibu.
Banyak perempuan yang mengkritik pendekatan negara yang hanya fokus pada pertumbuhan populasi, tanpa mempertimbangkan hak perempuan untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri.
Salah satu slogan yang muncul dalam protes ini adalah: “Rahim saya bukan milik negara” dan “Perempuan bukan mesin pembuat bayi”.
Gerakan 4B mengajak perempuan untuk menolak jalur hidup tradisional yang selama ini dipaksakan.
Penolakan terhadap pernikahan, memiliki anak, atau berhubungan seks dengan pria adalah bentuk perlawanan terhadap struktur patriarkal yang menganggap bahwa perempuan hanya berfungsi dalam lingkup rumah tangga.
Menurut para pendukung gerakan ini, hak perempuan atas tubuh mereka adalah hak yang tidak boleh dibatasi oleh kebijakan negara atau ekspektasi masyarakat.
Baca Juga: Kehidupan Perempuan dan Tantangannya, Tak Seindah Kisah Emily in Paris
Tantangan yang Dihadapi Gerakan 4B
Meskipun gerakan ini semakin berkembang, Gerakan 4B tidak tanpa tantangan.
Gerakan ini telah mendapatkan kritik tajam, baik dari kelompok konservatif maupun dari mereka yang merasa bahwa prinsip-prinsip yang diajukan terlalu radikal dan tidak dapat diterima oleh masyarakat luas.
Sebagian orang menganggap perempuan yang menolak pernikahan dan melahirkan anak sebagai egois atau bahkan anti-sosial.
Bahkan, gerakan ini pernah mendapat serangan politik, seperti yang terlihat pada kampanye Lee Seung-cheon, seorang kandidat dari Partai Demokrat di Korea Selatan, yang berjanji untuk memperkenalkan kebijakan untuk menanggulangi Gerakan 4B pada tahun 2020.
Meski demikian, para pendukung gerakan tetap teguh pada prinsip mereka, yaitu untuk memperjuangkan kebebasan memilih jalan hidup tanpa adanya tekanan atau pembatasan dari masyarakat atau negara.
Dampak Gerakan 4B di Dunia Internasional
Meskipun Gerakan 4B berasal dari Korea Selatan, dampaknya tidak hanya terbatas di sana.
Gerakan ini mendapatkan perhatian dari perempuan di negara lain, termasuk di Amerika Serikat.
Baca Juga: Pilihan Perempuan, Kekuatan Perubahan: Wujudkan Kesetaraan Gender
Setelah terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden AS, banyak perempuan di sana yang merasa bahwa hak-hak mereka terancam, terutama terkait dengan kebijakan-kebijakan yang membatasi akses terhadap aborsi dan hak reproduksi.
Gerakan 4B memberikan inspirasi bagi banyak perempuan di luar Korea Selatan untuk memperjuangkan hak mereka atas tubuh dan kehidupan mereka sendiri.
Di China, sebuah gerakan yang terinspirasi oleh Gerakan 4B, yang dikenal dengan nama 6B4T, juga mulai muncul.
Gerakan ini menambahkan prinsip tambahan, termasuk menolak konsumerisme dan mendorong solidaritas di antara perempuan yang belum menikah.
Gerakan ini menggambarkan bahwa penolakan terhadap norma patriarki dan kehidupan tradisional tidak hanya merupakan isu lokal, tetapi juga merupakan perjuangan global yang melibatkan perempuan di seluruh dunia.
Gerakan 4B dan Perspektif di Indonesia
Di Indonesia, meskipun terdapat permasalahan yang berbeda, tantangan serupa dihadapi oleh perempuan dalam menuntut hak mereka untuk menentukan jalur kehidupan mereka.
Banyak perempuan yang merasa tertekan oleh norma-norma tradisional yang mengharuskan mereka untuk menikah, memiliki anak, dan mengurus rumah tangga.
Sering kali, perempuan dipandang hanya melalui perannya sebagai ibu dan istri, sementara pilihan untuk mengejar karier atau hidup tanpa kerja sama sekali.
Baca Juga: Meningkatkan Kesejahteraan Perempuan Lewat Kebijakan Pajak yang Setara
Salah satu fenomena yang muncul di Indonesia terkait dengan hal ini adalah semakin banyaknya perempuan yang memilih untuk menjalani kehidupan childfree atau tanpa anak.
Melansir dari Kompas.com, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan yang bertajuk Menyusuri Jejak Childfree di Indonesia yang dirilis pada tahun 2023 lalu.
Menunjukkan, bahwa 8 persen atau setara dengan 71.000 perempuan Indonesia memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree.
Mayoritas perempuan yang memilih untuk childfree berasal dari Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten.
Fenomena childfree ini menggambarkan bahwa perempuan di Indonesia juga mulai menuntut hak untuk menentukan masa depan mereka tanpa dibatasi oleh norma-norma yang mengharuskan mereka untuk memiliki anak.
Gerakan ini, meskipun belum sebesar Gerakan 4B di Korea Selatan, menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang memilih untuk hidup sesuai dengan keinginan mereka, bukan berdasarkan ekspektasi sosial yang ada.
Di Indonesia, meskipun kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender semakin berkembang, perempuan masih sering dipaksa untuk memenuhi ekspektasi sosial tentang peran mereka.
Hal ini menjadi tantangan besar dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara, di mana perempuan memiliki kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tanpa merasa dibatasi oleh peran tradisional yang ditentukan oleh budaya atau agama.
Seperti yang terlihat di Korea Selatan, gerakan yang menuntut kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan hidup mereka sesuai dengan keinginan mereka sangat relevan di Indonesia.
Perjuangan untuk menghapuskan pandangan bahwa perempuan adalah “mesin pembuat bayi” harus terus didorong, agar perempuan dapat hidup dengan kebebasan penuh, menentukan nasibnya sendiri tanpa ada batasan dari patriarki.
Baca Juga: Mengapa Semakin Banyak Perempuan Memilih Single dan Childfree?
(*)
Ken Devina