Parapuan.co - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen bakal menimbulkan dampak yang signifikan pada berbagai sektor ekonomi.
Salah satu kelompok yang paling terpengaruh adalah perempuan pekerja di sektor nonformal, yang mencakup pedagang kaki lima, pekerja rumah tangga, buruh tani, hingga pekerja lepas.
Terutama lagi dalam hal ini adalah perempuan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah terbukti turut berkontribusi dalam perekonomian negara.
Hal ini pernah disinggung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjadi pembicara di acara "The 1st International Conference on Women and Sharia Community Empowerment" pada Agustus 2022.
Mengutip laman Kemenkeu.go.id, Sri Mulyani mengatakan, "Banyak perempuan yang harus melakukan kegiatan ekonomi dan ini tidak selalu identik dengan karier di luar rumah. Bahkan yang masih ada di dalam rumah juga tetap menjaga dan memelihara ekonomi mereka. Mereka-mereka ini adalah bagian dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang banyak sekali di Indonesia."
Data Kementerian Koperasi dan UKM yang tercatat hingga Juni 2024 juga menunjukkan hal yang sama.
Bahwasanya di Indonesia, terdapat 65 juta UMKM yang 60 persen diantaranya dikelola dan dimiliki oleh perempuan.
"Lebih dari 38 juta UMKM dikelola oleh perempuan dan ini menjadi bukti bahwa kontribusi perempuan bagi perekonomian Indonesia tidak bisa dianggap sebelah mata," ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kala itu, Bintang Puspayoga.
"Saat krisis ekonomi dan pada saat terjadinya pandemi, UMKM kelompok perempuan bisa bertahan dan memiliki daya lenting yang tinggi," imbuh Bintang Puspayoga saat berbicara di depan peserta Rapat Kerja Nasional Asosiasi Muslimah Pengusaha Se-Indonesia (ALISA) Khadijah, Mei 2024, seperti melansir laman KemenPPPA.
Baca Juga: Program Ibu Berbagi Bijak 2023, Literasi Keuangan Perempuan Pelaku UMKM Meningkat
Beban Tambahan bagi Perempuan Pekerja Nonformal
Sektor nonformal sering kali identik dengan pekerjaan yang tidak memiliki jaminan sosial atau pendapatan tetap.
Kenaikan PPN 12 persen berdampak langsung pada biaya kebutuhan pokok yang harus mereka beli, mulai dari bahan makanan, transportasi, hingga alat kerja.
Bagi pedagang kecil, misalnya, kenaikan harga barang akibat pajak ini akan memengaruhi modal usaha mereka.
Dengan penghasilan yang sudah pas-pasan, mereka terpaksa menyesuaikan harga jual, yang bisa berisiko kehilangan pelanggan.
Hal serupa terjadi pada buruh tani perempuan, di mana kenaikan biaya hidup tidak diimbangi dengan peningkatan upah yang layak.
Ketimpangan Gender yang Semakin Nyata
Perempuan di sektor nonformal sering kali menghadapi ketimpangan gender yang membuat mereka lebih rentan.
Mereka tidak hanya bekerja untuk mencari nafkah, tetapi juga harus mengelola keuangan rumah tangga.
Baca Juga: Cara Artificial Intelligence (AI) Pengaruhi Ketimpangan Gender
Kenaikan PPN memperbesar beban ganda ini, mengurangi daya beli, sekaligus mempersempit peluang untuk meningkatkan kualitas hidup.
Dampak pada Akses terhadap Barang dan Jasa Penting
Kenaikan PPN juga berdampak pada akses perempuan terhadap barang dan jasa yang penting bagi kesejahteraan hidup.
Produk kesehatan perempuan, seperti pembalut atau vitamin, serta layanan pendidikan anak, menjadi semakin mahal.
Akibatnya, perempuan pekerja nonformal harus membuat pilihan sulit antara memenuhi kebutuhan pribadi atau keluarga.
Kenaikan PPN 12 persen memang menantang, tetapi dengan kebijakan yang inklusif dan mendukung perempuan di sektor nonformal, dampaknya dapat diminimalkan.
Perempuan, sebagai salah satu motor penggerak ekonomi, layak mendapatkan perhatian khusus agar dapat terus berkontribusi tanpa kehilangan kesejahteraan.
Ini tidak hanya untuk perempuan pelaku UMKM, tetapi juga pekerja di sektor informal lainnya seperti buruh tani, freelancer, dan sebagainya.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinilai Belum Sepenuhnya Melindungi Pekerja Perempuan di Sektor Informal
(*)