Baca Juga: Korban KDRT Tidak Bisa Meninggalkan Pelaku? Bisa Jadi Alami Stockholm Syndrome
Komnas Perempuan juga mencatat puncak KDRT pada kasus-kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan dan juga bunuh diri.
Era digital turut memberikan dimensi baru dalam permasalahan KDRT dan tidak jarang justru memperburuk situasi dengan munculnya Kekerasan Berbasis Gender Siber.
Pelaku KDRT memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana untuk melanggengkan kontrol dan dominasi terhadap korban, bahkan setelah perpisahan.
"Dalam perkawinan tidak tercatat, kondisi korban KDRT menjadi lebih buruk karena kerap diabaikan dari proses penanganan dan pemulihan sesuai UU PKDRT," tambah Komisioner Theresia Iswarini terkait Rekomendasi Umum Komnas Perempuan agar UU PKDRT tetap digunakan dalam penanganan kasus KDRT di konteks perkawinan belum tercatat.
Komnas Perempuan mengenali ada banyak alasan perempuan berada dalam perkawinan tidak dicatatkan: sebagiannya adalah mereka yang sudah berada dalam lingkar kekerasan, ada yang tidak tahu bahwa perkawinannya harus dicatatkan setelah menempuh pernikahan berdasarkan agama atau adatnya, dan ada pula yang tidak dapat mencatatkan perkawinannya karena hambatan legal.
"UU PKDRT tidak mensyaratkan pencatatan perkawinan dan juga telah ada sejumlah produk kebijakan maupun putusan pengadilan yang dapat dirujuk oleh aparat penegak hukum untuk memproses kasus KDRT dengan UU PKDRT sekalipun perkawinannya tidak dicatatkan," ungkap Iswarini.
Di tengah tantangan dan hambatan tersebut, Komnas Perempuan juga mencatat beberapa capaian bermakna, misalnya dalam aspek kebijakan.
Ada juga peningkatan signifikan dalam pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) hingga 60 persen di tingkat provinsi dan daerah.
Pembentukan Direktorat PPA PPO (Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang) juga menjadi capaian penting dalam penguatan struktur penanganan KDRT.
Baca Juga: KDRT Masih Dianggap sebagai Urusan Privat, Bagaimana Perempuan Melawan?
"Agar dukungan bagi korban menjadi optimal, dibutuhkan kesiapan lembaga layanan yang lebih komprehensif dan pemahaman yang menyeluruh terhadap UU PKDRT baik itu di kalangan aparat, penyelenggara layanan, juga masyarakat," ujar Komisioner Alimatul Qibtiyah.
Berbasis pada seluruh hasil kaji cepat 20 tahun implementasi UU PKDRT, Komnas Perempuan merekomendasikan sejumlah langkah strategis yang memerlukan kerja sama lintas sektor.
Di tingkat kebijakan, selain penguatan kerangka hukum melalui penyempurnaan regulasi terkait penanganan KDRT pada perkawinan tidak tercatat, perlu ada penyusunan pedoman yang jelas mengenai penerapan mediasi dan restorative justice, serta revisi PP Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT.
Langkah ini perlu dibarengi dengan pengembangan petunjuk teknis yang komprehensif tentang perlindungan sementara dan layanan terintegrasi bagi tenaga kesehatan, peningkatan koordinasi SPPT-PKKTP dan implementasi penguatan fungsi Direktorat PPA PPO.
Penguatan peran lembaga HAM dalam pengawasan proses hukum dan pengawalan prinsip-prinsip HAM dalam pemulihan juga menjadi krusial.
Komnas Perempuan juga merekomendasikan kajian-kajian mutakhir untuk memperdalam pemahaman tentang kompleksitas isu KDRT di era kontemporer.
"Komnas Perempuan sangat mendorong agar penguatan struktur dan mekanisme penanganan ini dibarengi dengan peningkatan jumlah dan kapasitas Aparat Penegak Hukum (APH) serta lembaga layanan," kata Komisioner Dewi Kanti.
"Juga penguatan mekanisme deteksi dini femisida dan pengembangan sistem perlindungan yang lebih responsif. Dukungan terhadap pelibatan substantif pendamping korban berbasis komunitas menjadi kunci dalam membangun sistem pencegahan dan penanganan KDRT yang lebih efektif dan berkelanjutan," pungkasnya.
Baca Juga: Kata Komnas Perempuan Soal Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak di Polri