Parapuan.co - Selama ini perempuan kerap dibebankan pada peran sebagai caregiver untuk merawat orang lain menjelang akhir hidupnya.
Namun ironisnya, kebanyakan perempuan justru tidak mendapatkan dukungan yang sama di hari-hari terakhirnya.
Ini adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi banyak perempuan ketika mendekati akhir hidup mereka.
Perjalanan menuju kematian bagi perempuan ternyata tak senyaman seperti yang dialami oleh laki-laki.
Sebuah penelitian oleh ICES di Kanada pada tahun 2019 mengungkapkan pola yang meresahkan dalam perawatan akhir hayat, yang mana gender kita dapat memengaruhi banyak hal secara signifikan.
Mulai dari cara kita mengelola rasa sakit hingga tempat menghabiskan hari-hari terakhir.
Dengan kata lain, penelitian yang dipublikasikan di JAMA Network Open tersebut mengungkapkan kesenjangan gender yang mencolok dalam cara kita merawat orang-orang di babak akhir kehidupan mereka.
Kesenjangan ini sudah ada sejak lama, yang mana perempuan cenderung menghadapi kematian sendirian, sering kali mendapati diri mereka menjadi janda dan terisolasi di tahun-tahun terakhir kehidupan mereka.
Kesendirian ini tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga memiliki konsekuensi nyata dalam hal perawatan kesehatan.
Baca Juga: Pemberdayaan Perempuan di Asia Selatan: Kebijakan yang Dibutuhkan
Ironisnya lagi, setelah seumur hidup mengalami kesenjangan upah dan tantangan karier yang lebih berat, perempuan masih harus menghadapi hari-hari terakhir dengan kondisi finansial yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
Kesenjangan dan tantangan yang dialami perempuan ini memengaruhi kualitas hidupnya menjelang akhir hayat.
Perbedaan Perawatan di Akhir Hayat
Lebih dari itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa menjelang hari akhirnya, perempuan mengalami nyeri yang lebih parah, kelelahan, dan mual dibandingkan laki-laki dengan kondisi serupa.
Namun yang lebih mengherankan, perbedaan ini jarang muncul dalam catatan medis atau dokumentasi.
Meresahkannya lagi, nyeri yang dialami perempuan ini sering kali tidak ditangani dengan baik.
Hal ini mencerminkan anggapan masyarakat bahwa perempuan cenderung membesar-besarkan gejala atau nyeri yang mereka alami lebih bersifat emosional daripada fisik.
Cara laki-laki dan perempuan membuat keputusan akhir hidup juga sangat berbeda.
Baca Juga: Kesenjangan Gender dalam Kepemimpinan Editorial Jurnal Akademik, Apa yang Harus Dilakukan?
Perempuan dinilai lebih mungkin menerima perintah "jangan resusitasi" dan biasanya menerima perawatan unit intensif yang lebih sedikit.
Meskipun mereka umumnya lebih menerima perawatan paliatif daripada pilihan perawatan agresif, penelitian tersebut mengungkapkan sebuah paradoks.
Yaitu perempuan tidak mendapatkan manfaat dari integrasi perawatan paliatif dini sebanyak laki-laki.
Kesenjangan Gender dalam Peran Pengasuhan
Mungkin tidak ada tempat yang lebih jelas menunjukkan kesenjangan gender selain dalam peran pengasuhan.
Perempuan yang memainkan peran pengasuh harus menanggung beban yang tidak proporsional, mengalami tekanan mental dan fisik yang lebih besar, harga diri yang lebih rendah, dan kelelahan berlebihan.
Beban yang lebih tinggi ini berasal dari ekspektasi masyarakat yang mengakar kuat bahwa perempuan adalah pengasuh alami.
Ekspektasi ini sering kali menyebabkan penyedia layanan kesehatan secara tidak sadar mendelegasikan lebih banyak tugas perawatan fisik kepada anggota keluarga perempuan. Sementara peran pengambilan keputusan diberikan kepada laki-laki.
Cara laki-laki dan perempuan berkomunikasi tentang pengalaman akhir hidup mereka juga menunjukkan lapisan kesenjangan lainnya.
Baca Juga: Rasa Sakit Perempuan Kerap Diabaikan, Ini Wajah Bias Gender dalam Dunia Medis
Perempuan biasanya menunjukkan kemampuan yang lebih besar untuk mengungkapkan kebutuhan dan meminta bantuan.
Yaitu dengan menggunakan kosakata yang lebih luas, yang mencakup aspek fisik dan emosional dari pengalaman mereka.
Sementara laki-laki, cenderung dibatasi oleh harapan masyarakat akan ketabahan dan kemandirian, sering kali kesulitan untuk menyuarakan kelemahan mereka.
Pola ketidaksetaraan ini tidak hanya memengaruhi kondisi seseorang, tetapi juga mengungkap masalah sistemik yang perlu mendapat perhatian.
Studi terkini menunjukkan bahwa sekadar mengakui kesenjangan gender ini tidaklah cukup.
Agar dapat mengatasi masalah ini secara efektif, sistem layanan kesehatan perlu melakukan transformasi mendasar, salah satunya dengan menciptakan lingkungan layanan yang bebas dari bias gender.
Bahkan, sistem layanan kesehatan juga perlu beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan khusus perempuan yang hidup mandiri di usia lanjut.
Sementara layanan dukungan harus memperhitungkan gaya komunikasi dan kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Jalan keluarnya bukan dengan memisahkan layanan kesehatan berdasarkan gender.
Baca Juga: Inklusi Gender: Penyetaraan Peran Perempuan dalam Artificial Intelligence
Melainkan tentang membangun fleksibilitas dalam kerangka kerja perawatan kesehatan yang ada untuk mengakomodasi perbedaan ini.
Yaitu dengan memastikan bahwa setiap orang, terlepas dari jenis kelaminnya, menerima perawatan yang mereka butuhkan di hari-hari terakhirnya secara setara.
(*)