Parapuan.co - Kawan Puan, baru-baru ini sebagian dari kita mungkin sudah mendengar tentang istilah trauma delay atau delayed trauma.
Hal itu setelah banyak pemberitaan tentang anak Baim Wong dan Paula Verhoeven yang diduga mengalami trauma delay.
Sebenarnya, apa itu trauma delay? Simak penjelasannya di bawah ini sebagaimana melansir Very Well Mind!
Apa Itu Trauma Delay?
Trauma yang dialami seseorang akibat kejadian menyakitkan atau mengancam jiwa dapat berkembang menjadi gangguan stres pascatrauma (Post-Traumatic Stress Disorder/PTSD).
Namun, ada kondisi khusus yang dikenal sebagai delayed-onset PTSD atau trauma tertunda, di mana gejala PTSD baru muncul setidaknya enam bulan setelah peristiwa traumatis terjadi.
Delayed trauma adalah kondisi di mana seseorang mulai menunjukkan gejala PTSD setelah waktu yang cukup lama berlalu sejak peristiwa traumatis.
Gejala ini bahkan bisa muncul bertahun-tahun kemudian. Kondisi ini sering ditemukan pada individu yang lebih tua, seperti orang lanjut usia yang menghidupkan kembali trauma masa lalu.
Dalam beberapa kasus, delayed trauma terjadi pada individu yang sebelumnya mengalami gejala ringan PTSD (subthreshold PTSD), tetapi gejala tersebut tidak cukup untuk mendapatkan diagnosis.
Baca Juga: Tips Atasi Trauma Makan pada Anak ala Nikita Willy, Begini Kata Pakar
Penelitian menunjukkan bahwa delayed-onset PTSD biasanya adalah akibat memburuknya gejala sebelumnya atau muncul kembali setelah pemicu tertentu.
Penyebab Delayed Trauma
Penyebab pasti delayed trauma belum sepenuhnya dipahami. Namun, beberapa faktor yang diduga menjadi pemicu meliputi:
- Gejala PTSD yang Ringan: Individu yang memiliki gejala ringan PTSD setelah peristiwa traumatis cenderung lebih rentan terhadap delayed trauma.
- Stres Tambahan: Kehadiran trauma baru atau tekanan hidup yang signifikan, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan orang tercinta, atau perubahan besar dalam hidup, dapat memicu gejala PTSD lama yang sebelumnya tidak tampak.
- Beban Coping: Ketidakmampuan untuk mengatasi trauma awal dapat memperburuk risiko delayed trauma di masa depan.
Penelitian pada veteran Perang Dunia II menemukan bahwa hampir setengah dari mereka yang mengalami gejala delayed trauma melaporkan pemicu dari perubahan besar dalam hidup.
Gejala Delayed Trauma
Gejala delayed trauma mirip dengan PTSD biasa, yang meliputi:
- Kilas balik atau mimpi buruk tentang peristiwa traumatis.
- Kecemasan berlebihan atau rasa takut yang tidak terjelaskan.
- Kesulitan tidur atau konsentrasi.
- Perasaan terasing dari orang lain.
- Menghindari hal-hal yang mengingatkan pada trauma.
Baca Juga: Sinopsis Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis tentang Perempuan yang Pendam Trauma
Pentingnya Penanganan Dini
Setelah mengalami peristiwa traumatis, penting untuk memantau gejala awal PTSD. Pada beberapa orang, gejala ini bisa mereda secara alami.
Namun, jika dibiarkan tanpa penanganan, gejala ringan dapat berkembang menjadi delayed trauma.
Mengatasi trauma dengan cara sehat sangat penting. Hindari penggunaan strategi yang tidak sehat seperti penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan untuk menghindari gejala.
Sebaliknya, fokuslah pada strategi coping positif, seperti berbicara dengan orang terdekat atau mencari bantuan profesional.
Pengobatan untuk Delayed Trauma
Meski gejala trauma baru muncul setelah bertahun-tahun, pengobatan tetap efektif. Perawatan yang bisa dilakukan meliputi:
- Terapi Psikologis: Seperti terapi kognitif perilaku (CBT) untuk mengubah pola pikir negatif terkait trauma.
- Medikasi: Obat-obatan tertentu dapat membantu mengatasi gejala kecemasan dan depresi yang sering menyertai PTSD.
- Dukungan Sosial: Berbagi pengalaman dengan kelompok dukungan atau komunitas dapat membantu meringankan beban emosional.
Delayed trauma menunjukkan bahwa efek dari peristiwa traumatis dapat bertahan lama, bahkan jika gejalanya tidak segera muncul.
Mengatasi trauma sejak dini dan mencari bantuan profesional jika diperlukan adalah langkah penting untuk mencegah trauma tertunda dan meningkatkan kualitas hidup.
Baca Juga: Peneliti Temukan Cara Menghapus Kenangan Buruk, Bisakah Hilangkan Trauma?
(*)