Parapuan.co - Belakangan nama Tri Cahyaningsih kembali ramai menjadi sorotan publik.
Sebelumnya pada Oktober 2024 lalu, perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik ini meraih skor tertinggi dalam tes seleksi kompetensi dasar (SKD) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jawa Tengah.
Namun setelah melalui tahapan tes kesehatan, Tri Cahyaningsih justru ditanyakan tidak lolos.
Hal ini disebabkan karena tinggi badan Tri Cahyaningsih dianggap tidak sesuai persyaratan.
Di mana tinggi badan Tri kurang dari 0,5 cm dan tinggi badan minimal yang disyaratkan yaitu 158 cm.
"Seharusnya tingginya (badan) 158 cm. Saya diukur 157,5 cm," ujar Tri dikutip dari laman Kompas.com.
Tri juga mengaku sudah beberapa kali mengikuti seleksi CPNS. Formasi yang diambil dari awal pertama kali ikut seleksi adalah penjaga tahanan di Kemenkumham.
Meski pun tidak lolos, Tri tetap menerima hasil tersebut tanpa berkecil hati.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum, Nico Afinta menyatakan, syarat tinggi badan perlu dipenuhi oleh peserta seleksi CPNS Kemenkumham pada pekerjaan yang terkait keamanan dan ketertiban seperti penjaga tahanan.
Baca Juga: Tantangan Keadilan Gender terhadap Perempuan dan Peran Laki-Laki Membantu Mewujudkannya
"Pekerjaan yang berkaitan dengan keamanan, contohnya para penjaga tahanan, membutuhkan kondisi fisik tertentu agar dapat melaksanakan tugasnya. Sehingga tinggi dan berat badan menjadi salah satu faktor yang dilihat dari pelamar CPNS," kata Nico dikutip dari Kompas.com.
Nico menjelaskan, persyaratan tinggi dan berat badan semata-mata agar pegawai dapat mengerjakan tugas dan fungsi pada posisi yang dilamar secara maksimal.
Ia mengeklaim, Kemenkumham akan terus melakukan evaluasi terhadap kesesuaian antara kualifikasi peserta dengan jabatannya.
Masih Banyaknya Perusahaan yang Memberikan Persyaratan Fisik
Terlepas dari peristiwa yang dialami oleh Tri Cahyaningsih, penulis masih kerap menemukan salah satu syarat utama perusahaan dalam mencari pekerja adalah 'penampilan menarik'.
Bukan itu saja, beberapa perusahaan juga mencantumkan tinggi badan minimal untuk perempuan sebagai syarat melamar kerja.
Menurut penulis, tidak ada bukti yang menunjukkan korelasi antara tinggi badan dan kinerja di sebagian besar profesi.
Bukan itu saja, penulis juga menyoroti bahwa pihak-pihak yang mencantumkan persyaratan fisik tertentu seakan mempersempit kesempatan perempuan mendapatkan pekerjaan.
Baca Juga: Representasi Perempuan dalam Pengumuman Rekrutmen Bersama BUMN 2025
Hal ini pada akhirnya dapat memengaruhi kepercayaan diri individu dalam mencari pekerjaan, terutama perempuan.
Penulis juga menyoroti bahwa adanya aturan fisik dalam syarat kerja termasuk diskriminasi berbasis fisik.
Penting bagi perusahaan atau pemberi kerja meningkatkan kesadaran akan pengambilan keputusan tentang dampak negatif dari diskriminasi berbasis fisik dan mengubah rekrutmen secara adil.
Alangkah baiknya jika perusahaan mengutamakan penilaian berdasarkan keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman kandidat.
Proses seleksi yang berbasis kompetensi akan menghasilkan tenaga kerja yang lebih berkualitas dan beragam.
Lebih dari itu, semua pencari kerja sebenarnya sudah dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Seperti yang dijamin dalam Pasal 5 UU Ketenagakerjaan, yang menegaskan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa diskriminasi.
Maka, jangan lagi beri ruang untuk diskriminasi fisik maupun gender bagi para pencari kerja.
Baca Juga: Sudahkah Perempuan Mendapatkan Keadilan di Ranah Sosial, Institusi, dan Privat?
(*)