Parapuan.co - Mendaki gunung adalah aktivitas yang menantang sekaligus memberikan pengalaman luar biasa. Udara segar, pemandangan alam yang indah, serta rasa pencapaian setelah sampai di puncak menjadi daya tarik utama bagi para pendaki.
Namun, di balik semua keindahan itu, ada berbagai risiko yang harus diwaspadai, salah satunya adalah hipotermia. Kondisi ini sering kali terjadi di ketinggian dan dapat membahayakan nyawa seorang pendaki, sekali pun mereka sudah berpengalaman.
Terkait hipotermia di puncak gunung, belakangan media sosial dihebohkan dengan dua pendaki perempuan yang meninggal dunia akibat hipotermia di puncak Carstenz Pyramid pada Sabtu (1/3/2024). Kedua pendaki perempuan ini adalah Lilie Wiyanati Poegiono (59) dan Elsa Laksono (59).
Lilie dan Elsa mengalami hipotermia akibat cuaca ekstrem seperti hujan salju, hujan deras, dan angin kencang, menyebabkan kedua sahabat ini mengalami hipotermia dan meninggal dunia. Kini, jenazah kedua pendaki perempuan ini sudah berhasil dievakuasi menggunakan helikopter.
Berkaca dari peristiwa tragis yang dialami oleh Lilie dan Elsa, muncul pertanyaan mengapa pendaki gunung rentan mengalami hipotermia?
1. Kondisi Cuaca Ekstrem
Menurut laman Discover Altai, daerah pegunungan terkenal dengan pola cuaca yang berubah dengan cepat. Hal tersebut membuat pendaki sering menghadapi badai salju, angin kencang, cuaca dingin ekstrem, dan badai yang tidak bisa diprediksi.
Kondisi ini meningkatkan risiko berkurangnya jarak pandang, membuat navigasi menjadi berbahaya hingga masalah hipotermia. Bisa diartikan bahwa semakin tinggi suatu tempat, maka semakin rendah suhu udara di sekitarnya.
Selain itu, kecepatan angin yang tinggi di pegunungan bisa memperparah penurunan suhu tubuh karena mempercepat penguapan panas dari kulit. Inilah yang dikenal sebagai efek wind chill, di mana angin dingin membuat tubuh kehilangan panas lebih cepat dari yang seharusnya.
Baca Juga: Tips Aman Mendaki Gunung Bagi Perempuan agar Tak Alami Kejadian Mistis
2. Hujan Salju Meningkatkan Risiko Kedinginan
Sementara menurut laman UK Climbing, saat mendaki di musim musim hujan atau di daerah bersalju, risiko hipotermia meningkat drastis. Air yang masuk ke dalam pakaian dan sepatu dapat mempercepat penurunan suhu tubuh karena air adalah konduktor panas yang baik.
Kondisi basah mempercepat pendinginan tubuh hingga 25 kali lebih cepat dibandingkan dengan kondisi kering.
3. Kurangnya Asupan Kalori yang Menyebabkan Dehidrasi
Pendaki membutuhkan energi yang besar untuk tetap hangat di lingkungan bersuhu rendah. Jika tubuh kekurangan asupan makanan, produksi panas tubuh akan menurun, sehingga meningkatkan risiko hipotermia.
Sebagai informasi, tubuh membakar lebih banyak kalori saat berada di tempat dingin karena harus bekerja ekstra untuk mempertahankan suhu inti. Selain itu, dehidrasi juga bisa memperburuk kondisi ini karena cairan dalam tubuh berperan penting dalam menjaga keseimbangan termal.
4. Kurangnya Istirahat
Pendaki yang kelelahan atau kurang tidur akan lebih sulit mempertahankan suhu tubuh optimal. Keletihan membuat tubuh kehilangan kemampuan untuk menghasilkan panas secara efektif, sementara kurang tidur dapat memengaruhi fungsi metabolisme yang berperan dalam termoregulasi.
Baca Juga: Ingin Mendaki Gunung Akhir Pekan? Ini Tips untuk Pendaki Pemula
Pendaki yang mengalami kelelahan ekstrem lebih rentan mengalami hipotermia, terutama jika berada di lingkungan yang dingin dan basah.
5. Hipoksia yang Memengaruhi Suhu Tubuh
Semakin tinggi suatu tempat, semakin tipis kadar oksigen di udara. Kondisi ini disebut hipoksia, yang dapat memengaruhi sistem regulasi suhu tubuh.
Hipoksia dapat menghambat kemampuan tubuh dalam memproduksi panas, yang pada akhirnya meningkatkan risiko hipotermia. Itulah mengapa pendaki yang belum terbiasa dengan ketinggian lebih rentan mengalami kondisi ini.
Baca Juga: Tips Mendaki Gunung saat Musim Hujan, Perhatikan Jalur Pendakian
(*)