Bukan Hanya Hipotermia, Ini Masalah Kesehatan saat Mendaki Gunung Tinggi

Citra Narada Putri - Kamis, 6 Maret 2025
Selain hipotermia, ada beberapa masalah kesehatan yang bisa muncul saat mendaki gunung.
Selain hipotermia, ada beberapa masalah kesehatan yang bisa muncul saat mendaki gunung. (Mumemories/Getty Images)

Parapuan.co - Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan berita wafatnya dua pendaki perempuan Lilie Wijayanti Poegiono (59) dan Elsa Laksono (59) di puncak Carstensz Pyramid, Kabupaten Mimika, Papua Tengah pada Sabtu (1/3/2025).

Dikabarkan Lilie dan Elsa mengalami hipotermia hingga meninggal dunia ketika mendaki gunung, karena cuaca ekstrem termasuk hujan salju, hujan deras, dan angin kencang.

Melansir Kompas.com, hipotermia adalah keadaan saat kondisi tubuh berada di bawah 35 derajat Celcius. Sebagai informasi, suhu normal seseorang yaitu 36,5 hingga 37,5 derajat Celcius. Jika tidak segera mendapatkan penanganan dari pihak tenaga kesehatan, hipotermia akan menyebabkan komplikasi dan mengancam jiwa.

Adapun penyebab hipotermia secara umum adalah ketika kondisi tubuh berada di suhu yang sangat dingin dalam jangka waktu yang lama. Hal ini mengakibatkan tubuh kehilangan panas lebih cepat daripada yang dihasilkan dan dampaknya energi yang tersimpan dalam tubuh akan habis serta suhu tubuh menurun. 

Maka jika suhu tubuh terlalu rendah dapat memengaruhi otak, tidak dapat berpikir jernih, maupun bergerak dengan baik. Selain itu, penyebab hipotermia yang sering ditemui yaitu, tidak mengenakan pakaian yang tebal dan hangat saat cuaca dingin, terpapar air dingin serta mengenakan pakaian basah terlalu lama.

Namun, menurut dr. Dony Yugo Hermanto, Sp. J.P, Subsp. Ar. (K), FIHA, Dokter Spesialis Jantung dari RSPI, apa yang dialami oleh Lilie dan Elsa di puncak Carstensz Pyramid ini bukan sekadar karena serangan hipotermia saja. Ada risiko kesehatan lainnya yang bisa mengancam kita ketika mendaki gunung yang sangat tinggi. 

"Ketika mendaki gunung tidak sesimpel hipotermia aja sebetulnya yah. Bisa membunuh (hipotermia) memang iya, karena di tubuh kita punya enzim-enzim untuk make sure bahwa metabolisme kita terjaga baik. Enzim-enzim itu ada kadar suhu dimana enzim itu bekerja. Kalau suhunya terlalu rendah, enzimnya tidak bekerja. Dan kalau tidak ada bisa gagal," jelas dr. Dony saat ditemui PARAPUAN (5/3/2025).

Tapi, selain hipotermia, kematian pada para pendaki bisa jug disebabkan oleh acute mountain sickness atau altitude sickness. Apa perbedaan keduanya?

Acute mountain sickness atau penyakit gunung akut disebabkan oleh tekanan udara yang rendah dan kadar oksigen yang rendah di dataran tinggi, seperti melansir Medline Plus. Semakin cepat Kawan Puan mendaki ke dataran tinggi, semakin besar kemungkinanmu akan terkena acute mountain sickness. Cara terbaik untuk mencegah penyakit ketinggian adalah dengan mendaki secara bertahap.

Baca Juga: Kenapa Pendaki Gunung Rentan Mengalami Hipotermia? Ini Jawabannya

Gejala dari kondisi ini sangat tergantung pada kecepatan pendakian dan seberapa keras kamu memaksakan diri. Gejalanya berkisar dari ringan hingga mengancam jiwa, yang dapat memengaruhi sistem saraf, paru-paru, otot, dan jantung.

Dalam kebanyakan kasus, gejalanya ringan. Gejala penyakit gunung akut ringan hingga sedang dapat meliputi sulit tidur, pusing atau sakit kepala, kelelahan, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, denyut nadi cepat (detak jantung), hingga sesak napas saat beraktivitas.

Sedangkan Altitude Sickness terjadi saat tubuh tidak punya waktu untuk menyesuaikan diri dengan ketersediaan oksigen yang lebih rendah di atmosfer. Semakin tinggi tempat yang Kawan Puan daki, semakin tipis atmosfernya. Itu berarti menghirup udara dalam jumlah yang sama akan membuat kamu mendapatkan lebih sedikit oksigen daripada di tempat yang lebih rendah, seperti melansir Cleveland Clinic

Penyakit ini biasanya dapat dicegah dan diobati. Jika parah, penyakit ini dapat dengan cepat berubah menjadi masalah yang mengancam jiwa. Maka dari itu penting untuk mengenali gejalanya dengan cepat.

Altitude sickness dapat menyebabkan banyak gejala yang bervariasi, tergantung pada tingkat keparahannya. Gejala ini biasanya muncul dalam satu atau dua hari pertama setelah mencapai ketinggian. 

Gejalanya meliputi sakit kepala (ini adalah gejala yang paling umum), mual dan muntah, kehilangan nafsu makan, kelelahan (bahkan saat beristirahat), malaise (perasaan "tidak enak badan" yang nyata), sulit tidur, pusing atau sakit kepala, hingga perubahan penglihatan.

"Altitude sickness, karena dia ketinggiannya kurang, bisa menyebabkan parunya kaya banjir. Itu juga bisa terjadi. Jadi sebenarnya banyak hal yang bisa menyebabkan cidera atau kesakitan pada kondisi ekstrem seperti di gunung yang tinggi 3.500 mdpl," jelas dr. Dony lagi.

Ditambahkan juga olehnya, jika kita hanya mendaki gunung biasa, lebih mungkin kita hanya mengalami hipotermia. Namun acute mountain sickness atau altitude sickness itu lebih mungkin terjadi ketika mendaki gunung yang lebih tinggi lagi. 

Baca Juga: Tips Aman Mendaki Gunung Bagi Perempuan agar Tak Alami Kejadian Mistis

Untuk mencegah terjadinya ancaman kesehatan tersebut saat mendaki gunung yang tinggi, disarankan oleh dr. Dony untuk menjaga suhu pada core. "Kadang suhu core-nya terjaga, dia pakai (pakaian) yang tebal banget. Tapi suhu perifernya enggak terjaga, si jari enggak dilindungi. Enggak pakai mitten atau sarung tangan, frost bite jadinya.

"Karena efek dingin terhadap pembuluh darah bisa menyebabkan vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah). Vasokonstriksi tuh dia jadi menyempit, yang artinya enggak ada aliran darah. Itu yang bahaya," jelas dr. Dony.

Maka, untuk mencegah masalah-masalah kesehatan tersebut, dr. Dony pun menyarankan untuk melakukan persiapan yang benar-benar matang sebelum mendaki gunung.

(*)



REKOMENDASI HARI INI

Bukan Hanya Hipotermia, Ini Masalah Kesehatan saat Mendaki Gunung Tinggi