Parapuan.co - Pernikahan sering kali dianggap sebagai tonggak kehidupan yang penuh kebahagiaan, tempat di mana dua individu berkomitmen untuk berbagi hidup bersama dalam suka maupun duka. Namun bagi penulis, realita pernikahan tidak selalu seindah yang dibayangkan.
Masih banyak perempuan di berbagai belahan dunia yang memilih bertahan dalam pernikahan meskipun mereka merasa tidak bahagia. Kamu mungkin menghadapi berbagai tantangan, mulai dari perasaan terperangkap dalam hubungan yang tidak sehat hingga tekanan sosial yang membuat kamu sulit keluar dari situasi tersebut.
Lantas, mengapa perempuan tetap bertahan dalam kondisi yang justru merugikan dirinya? Mengapa tidak mencari kebahagiaan baru daripada terus hidup dalam penderitaan? Pertanyaan ini memang tampak sederhana, tetapi jawabannya sangat kompleks, terutama bagi perempuan.
Bertahan dalam pernikahan yang tidak membahagiakan bukan sekadar soal cinta atau kesetiaan. Ada faktor-faktor lain yang lebih besar dan lebih mendalam yang membuat banyak perempuan memilih untuk tidak pergi.
Dari tekanan budaya hingga alasan ekonomi dan ketakutan akan masa depan, perempuan sering kali merasa tidak memiliki pilihan lain. Bahkan dalam beberapa kasus, penulis masih menemukan bahwa perempuan tidak sepenuhnya menyadari mereka sedang terperangkap dalam hubungan yang merugikan.
Salah satu alasan utama mengapa perempuan bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia adalah tekanan sosial dan budaya yang kuat. Dalam banyak masyarakat, terutama yang masih memegang nilai-nilai tradisional, pernikahan dipandang sebagai institusi yang harus dijaga sebaik mungkin, bahkan ketika hubungan di dalamnya sudah tidak sehat.
Norma yang mengakar dalam budaya sering kali menempatkan perempuan dalam posisi yang sulit. Kita kerap diajarkan sejak kecil bahwa pernikahan adalah tujuan hidup dan perceraian adalah sesuatu yang tabu atau memalukan.
Masyarakat kerap memberikan stigma negatif terhadap perempuan yang bercerai dan menganggap mereka sebagai individu yang gagal dalam mempertahankan rumah tangga. Ketakutan akan penghakiman sosial ini sering kali membuat perempuan enggan mengambil langkah untuk keluar dari pernikahan yang tidak membahagiakan.
Sementara menurut laman CNCB, alasan lain perempuan bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia karena ekonomi. Tidak semua perempuan memiliki kemandirian finansial yang cukup untuk menghidupi diri sendiri, apalagi jika mereka tidak bekerja.
Baca Juga: Jadi Isu Global IWD 2025, Ini Upaya Negara-Negara Dunia Mewujudkan Kesetaraan Gender
Ketergantungan ekonomi pada pasangan sering kali membuat perempuan tidak memiliki pilihan selain tetap bertahan, meskipun pernikahan tersebut penuh dengan ketidakbahagiaan. Perempuan yang tidak bekerja atau memiliki keterbatasan akses terhadap pekerjaan yang layak sering kali merasa tidak mampu secara finansial untuk hidup sendiri.
Selain itu, dalam beberapa kasus, penulis menemukan bahwa masih ada perempuan takut kehilangan standar hidup yang telah mereka jalani selama pernikahan. Perasaan tidak yakin terhadap masa depan membuat mereka memilih bertahan dalam hubungan yang tidak sehat, dengan harapan setidaknya mereka memiliki keamanan ekonomi.
"Ketakutan atas perasaan tidak nyaman dapat dimulai dengan memperoleh gambaran keuangan yang jelas," ujar Ann Springer, seorang terapis yang berbasis di New York.
Di sisi lain, penulis menilai bahwa akan ada berbagai konsekuensi yang dirasakan dan dialami perempuan ketika bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Misalnya stres berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan kondisi kesehatan mental tidak seimbang dan gangguan kesehatan fisik
Opini penulis ini didukung dengan adanya penelitian pada tahun 2017 lalu yang berjudul The Impact of Stress on Body Function sebagaimana dikutip dari laman Healthline. Penelitian tersebut menemukan bahwa stres diikuti berbagai masalah kesehatan seperti gangguan pencernaan, menurunnya nafsu makan, hingga memengaruhi kesehatan jantung.
Bukan itu saja, penulis juga menilai apabila perempuan bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia, bukan tidak mungkin jika konflik akan lebih sering terjadi. Pada akhirnya, secara tidak sadar situasi ini hanya akan menurunkan kualitas hidup dan menghambat pertumbuhan pribadi.
Memutuskan untuk meninggalkan pernikahan yang tidak bahagia bukanlah perkara mudah, terutama bagi perempuan yang menghadapi berbagai tekanan sosial, ekonomi, dan emosional. Ada begitu banyak faktor yang membuat mereka merasa terjebak dalam hubungan yang tidak memberikan kebahagiaan.
Namun menurut penulis, penting bagi kamu untuk menyadari bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan diri juga berharga. Jika sebuah pernikahan hanya membawa penderitaan tanpa adanya solusi yang nyata, mencari jalan keluar mungkin merupakan keputusan terbaik demi kesehatan mental dan masa depan yang lebih baik.
Baca Juga: Memahami Dampak Psikis dan Fisik Jika Anak Perempuan Menikah Terlalu Dini
Selain itu, ekonomi juga menjadi faktor yang membuat perempuan tetap bertahan di pernikahan yang tidak bahagia. Artinya, penting bagi kamu untuk mandiri secara finansial dan tidak bergantung pada satu sumber penghasilan saja, alias suami.
Banyak perempuan yang masih bergantung secara finansial pada pasangan atau keluarga, yang dapat membatasi kebebasan mereka dalam membuat keputusan. Sementera ketika kamu memiliki kemandirian finansial, situasi ini memungkinkan perempuan memiliki kontrol atas hidup mereka sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain untuk kebutuhan dasar maupun gaya hidup mereka.
Kembali lagi, keputusan untuk bertahan atau pergi sepenuhnya ada pada dirimu. Namun, jika bertahan hanya akan menyakitimu untuk apa dilanjutkan? Soal ekonomi, cobalah untuk berdiri di kaki sendiri dan memenuhi kebutuhanmu. Cobalah untuk memulai usaha kecil-kecilan, memanfaatkan hobi sebagai ladang penghasilan, atau cara lainnya untuk membuatmu berdaya secara finansial.
(*)