Parapuan.co - Kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang melibatkan Kapolres nonaktif Ngada, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) AKBP Fajar Widyadharma Lukman, menjadi tamparan keras bagi institusi kepolisian dan sistem perlindungan anak di Indonesia.
Bagaimana mungkin seorang pejabat tinggi kepolisian, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan masyarakat, justru diduga menjadi pelaku kejahatan yang paling merusak—menodai masa depan seorang anak?
Lebih memilukan lagi, kasus ini terungkap bukan karena inisiatif aparat di dalam negeri, melainkan melalui laporan otoritas Australia. Seperti apa kronologi kasus ini sampai akhirnya diselidiki Kepolisian Republik Indonesia?
Kronologi Terungkapnya Dugaan Pelecehan Oleh Fajar Widyadharma Lukman
Mengutip Kompas.com, Februari 2025 kemarin otoritas Australia menemukan sebuah video pelecehan anak di bawah umur yang tersebar di situs porno setempat. Otoritas Australia menyelidiki, dan mendapati asal video tersebut berlokasi di Kota Kupang.
Pelaku melakukan pelecehan terhadap tiga anak di sebuah hotel di Kupang, dibantu seorang perantara. Fajar merekam sendiri aksinya dan menyebarkannya ke situs porno Australia.
Jika bukan karena investigasi ini, mungkinkah kasus ini akan tetap tersembunyi? Jika otoritas Australia tidak melapor hingga kasus ini mencuat ke publik, akankah Polri justru menutupi?
Ketika Ruang Aman Tak Lagi Aman
Anak-anak adalah kelompok paling rentan yang membutuhkan perlindungan dari keluarga, lingkungan, dan negara. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa ruang aman yang seharusnya mereka miliki justru dirusak oleh oknum penegak hukum sendiri.
Baca Juga: Pengaduan Pelecehan Seksual dan 6 Jenis Layanan SAPA 129 KemenPPPA
Jika polisi yang diharapkan menegakkan keadilan malah diduga menjadi pelaku, ke mana lagi korban harus mencari perlindungan? Lebih mengkhawatirkan lagi, ada pihak ketiga yang berperan sebagai perantara dalam kasus ini.
Seseorang berinisial F membawa korban—seorang anak perempuan berusia enam tahun—ke Fajar dengan imbalan Rp3 juta. Fakta ini mengungkap sisi kelam perdagangan anak yang masih marak terjadi, bahkan melibatkan individu-individu yang seharusnya melindungi mereka.
Perlindungan Anak Masih Sebatas Wacana?
Indonesia memiliki berbagai regulasi terkait perlindungan anak, mulai dari Undang-Undang Perlindungan Anak hingga komitmen dalam berbagai konvensi internasional. Namun, kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah semua aturan tersebut benar-benar diterapkan dengan serius?
Bahkan, akhir tahun 2024 lalu Kepolisian Republik Indonesia baru saja membentuk Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (Dir PPA PPO). Polri bahkan menggandeng Komnas Perempuan saat meresmikannya.
Pembentukan Direktorat PPA dan PPO tersebut ialah bagian dari pelaksanaan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden No. 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, juga menjadi bentuk pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) di Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2022. Pembentukan Direktorat PPA dan PPO di Polri ini diharapkan mewujudkan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang semakin terpadu dan komprehensif.
Hanya saja, penegakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual terhadap anak sering kali berjalan lambat dan minim efek jera. Tak jarang, kasus seperti ini berakhir dengan hukuman ringan, atau bahkan menguap begitu saja.
Bagaimana publik bisa percaya bahwa negara benar-benar melindungi anak-anak, jika kejahatan yang terjadi pun baru terungkap setelah ada tekanan dari pihak asing?
Baca Juga: Mahasiswi Magang Diduga Jadi Korban Pelecehan Seksual Oknum Pejabat BUMN
Apa yang Harus Dilakukan?
Kasus ini harus menjadi momentum untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang bisa lolos dari jeratan hukum, terutama jika mereka berasal dari institusi yang seharusnya melindungi masyarakat.
Kiranya, berikut ini beberapa langkah yang dapat diambil untuk penanganannya:
1. Proses hukum yang transparan dan tanpa intervensi: Tidak boleh ada impunitas. Siapa pun yang terbukti bersalah harus dihukum seberat-beratnya, termasuk individu yang berperan sebagai perantara.
2. Pengawasan ketat terhadap aparat penegak hukum: Harus ada mekanisme pengawasan independen untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan di kepolisian, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan anak-anak.
3. Peningkatan sistem perlindungan anak: Negara harus memperkuat sistem perlindungan anak dengan menyediakan layanan darurat yang benar-benar mudah diakses dan responsif terhadap laporan kejahatan seksual terhadap anak.
4. Pendidikan dan kesadaran masyarakat: Kejahatan seksual terhadap anak sering kali terjadi dalam diam karena minimnya kesadaran masyarakat. Sosialisasi mengenai tanda-tanda pelecehan dan cara melaporkannya harus ditingkatkan.
Kasus ini adalah alarm keras bagi semua pihak. Jika seorang anak berusia enam tahun bisa menjadi korban pelecehan oleh aparat kepolisian, maka jelas ada yang salah dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Jangan biarkan kasus ini berlalu tanpa perubahan berarti—karena setiap anak berhak atas masa depan yang aman dan bebas dari ancaman kekerasan.
Baca Juga: Catcalling Bukan Candaan Tetapi Bentuk Pelecehan pada Perempuan
(*)