Parapuan.co - Miris, seorang anggota kepolisian kembali terlibat dalam sebuah kasus hukum. Seorang anggota Direktorat Intelijen Keamanan (Ditintelkam) Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah (Jateng), Brigadir AK diduga melakukan pembunuhan pada bayi berusia 2 bulan (AN) yang juga anak kandungnya sendiri.
Kasus ini kemudian mencuat ke publik dan menjadi sorotan. Belum selesai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, citra kepolisian kembali tercoreng dengan kasus pembunuhan bayi dua bulan yang dilakukan oleh oknum polisi.
Ditambah lagi, dugaan pembunuhan bayi yang dilakukan oleh Brigadir AK merupakan anak hasil hubungan gelap antara dirinya dengan sang kekasih. Kronologi kejadian bermula saat Brigadir Ak dan DJP (24), ibu kandung bayi sedang berbelanja di Pas Peterongan, Kota Semarang pada Minggu (2/3/2025).
DJP kemudian turun dari mobil untuk berbelanja ke pasar dan menitipkan anaknya ke Brigadir AK yang ada di dalam mobil. Ketika DJP kembali, ia melihat anaknya dalam kondisi tidak sadarkan diri. Mengetahui hal tersebut, ia pun berusaha mengecek kondisi AN tetapi tidak merespons.
Karena merasa janggal, DJP kemudian melaporkan kasus ini ke Polda Jawa Tengah pada 5 Maret 2025. Polisi kemudian menindaklanjuti laporan tersebut dengan memeriksa Brigadir AK. Berdasarkan keterangan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng Kombes Pol Artanto, korban kemudian dibawa ke rumah sakit, ditangani dokter namun keesokan harinya meninggal dunia.
Ibu Bayi Bukan Istri Sah
Artanto juga mengungkap hubungan Brigadir AK dengan ibu bayi yang diduga dibunuhnya. Menurut penjelasannya keduanya hanya teman dekat dan belum istrinya. Tapi AN memang benar anak kandung Brigadir AK. Brigadir AK telah bercerai dengan istri sahnya. Setelah bercerai, Brigadir AK menjalin hubungan asmara dengan DJP, yang kemudian melahirkan bayi AN.
"Kalau perempuan ini (DJP) adalah teman dekat, belum istri sah. Namun, korban (AN) benar anak kandung dari Brigadir AK, hubungan mereka di luar resmi dari dinas kepolisian," ujar Artanto dikutip dari Kompas.tv. Meski demikian, Artanto belum menjelaskan apa motif pelaku melakukan pembunuhan terhadap anak kandungnya sendiri karena dalam proses pendalaman.
Brigadir AK Menyamar Sebagai Pegawai Telkomsel
Baca Juga: Pelecehan Anak Oleh Oknum Polisi, Ke Mana Cari Perlindungan Jika Ruang Aman Menyesatkan?
Fakta baru terungkap bahwa Brigadir AK awalnya tidak mengaku sebagai anggota kepolisian kepada DJP. Menurut pengacara DJP, Alif Abdurrahman, Brigadir AK mendekati kliennya dengan mengaku sebagai pegawai Telkomsel sejak 2023. "Awalnya Brigadir AK ngaku bukan polisi, tapi kerja di Telkomsel. Namun, lama-lama ketahuan (oleh DJP) ketika sudah saling dekat," jelas Alif dikutip dari Kompas.com.
Brigadir AK yang memiliki keahlian di bidang intelijen diduga menggunakan keterampilannya untuk menjalin hubungan asmara dengan DJP tanpa menimbulkan kecurigaan. Setelah hubungan mereka semakin erat, DJP akhirnya mengetahui identitas asli Brigadir AK sebagai anggota kepolisian.
Setelah melaporkan kasus ini ke kepolisian, DJP mengaku mendapatkan intimidasi dari pihak yang tidak disebutkan identitasnya. Pengacara DJP, M. Amal Lutfiansyah, menyatakan bahwa tekanan yang diterima kliennya bersifat verbal dan bertujuan agar DJP tidak melanjutkan proses hukum terhadap Brigadir AK.
"Intimidasi ini agar korban tidak speak up, supaya kasusnya tidak lanjut lalu pilih jalan damai," ujar Amal.
Berkaca dari apa yang dialami DJP, perempuan cukup rentan mendapatkan perilaku intimidasi termasuk dalam hubungan asmara. Pelaku bisa menggunakan ancaman atau manipulasi untuk mencegah korban berbicara.
Tekanan ini dapat berupa ancaman fisik, emosional, atau sosial yang membuat korban merasa tidak aman untuk mengungkapkan apa yang mereka alami. Bukan hanya itu, ketika perempuan mengalami intimidasi mereka sering kali mengalami rasa takut yang mendalam terhadap pelaku, terutama jika pelaku adalah orang terdekat seperti suami.
Rasa takut ini, ditambah dengan trauma yang dialami, membuat mereka sulit untuk berbicara atau mencari bantuan. Belum lagi banyak korban yang tidak memiliki akses ke dukungan yang memadai atau ruang aman untuk berbicara tentang pengalaman mereka.
Ketidakadaan sistem pendukung yang kuat membuat mereka merasa sendirian dan enggan untuk mengungkapkan apa yang mereka alami. Oleh karena itu, diperlukan lingkungan yang mendukung dan aman bagi perempuan untuk berbicara. Termasuk pada mereka yang mendapatkan perlakukan intimidasi dari pasangannya.
Kasus Naik ke Tahap Penyidikan
Setelah melakukan gelar perkara, penyidik Ditreskrimum Polda Jawa Tengah menetapkan bahwa kasus ini resmi naik ke tahap penyidikan. Artanto menyatakan bahwa pihaknya telah mengantongi tiga alat bukti utama, yakni keterangan saksi, rekam medis, serta hasil ekshumasi.
Dengan perkembangan ini, penyidik akan terus mendalami kasus untuk mengungkap fakta-fakta baru serta memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.
Baca Juga: Salah Tangkap Polisi: Keluarga Korban Pemerkosaan Cari Keadilan
(*)