Parapuan.co - Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai beragam reaksi, termasuk kekhawatiran dari berbagai pihak mengenai dampaknya terhadap tatanan demokrasi dan hak-hak sipil. Salah satu isu yang patut disoroti adalah bagaimana revisi ini berpengaruh terhadap perempuan, baik sebagai warga negara yang terdampak kebijakan maupun dalam kapasitas mereka sebagai prajurit TNI.
Apakah perubahan ini akan menguntungkan perempuan atau justru merugikan mereka dalam berbagai aspek kehidupan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya Kawan Puan menyimak dulu informasi berikut!
Potensi Kembalinya Dwifungsi ABRI dan Implikasinya bagi Perempuan
Salah satu poin utama dalam revisi UU TNI seperti melansir Kompas.com, adalah perluasan jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Dengan revisi ini, prajurit TNI dapat menduduki posisi di 16 kementerian dan lembaga negara tanpa harus pensiun.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya konsep Dwifungsi ABRI yang pernah menjadi bagian dari rezim Orde Baru. Jika hal ini terjadi, ruang bagi perempuan dalam birokrasi sipil dapat semakin menyempit, mengingat kompetisi jabatan akan semakin ketat dengan masuknya prajurit TNI aktif ke ranah sipil.
Bagi perempuan yang berkarier di sektor pemerintahan, kehadiran personel militer dalam jabatan sipil bisa menjadi ancaman tersendiri, terutama dalam hal promosi dan kesempatan kepemimpinan. Representasi perempuan dalam pemerintahan masih menghadapi berbagai tantangan, dan revisi ini berpotensi memperburuk ketimpangan tersebut.
Penambahan Usia Pensiun: Apakah Menguntungkan atau Merugikan?
Revisi ini juga mengusulkan penambahan batas usia pensiun bagi prajurit TNI: bintara dan tamtama menjadi 58 tahun, perwira menjadi 60 tahun, serta prajurit yang menjabat dalam posisi fungsional hingga 65 tahun.
Meski tampak sebagai kebijakan yang memberikan kesempatan lebih panjang bagi prajurit untuk mengabdi, hal ini bisa berdampak negatif bagi regenerasi di tubuh TNI, termasuk bagi prajurit perempuan.
Baca Juga: UU TPKS dan Berbagai Kebijakan yang Melindungi Perempuan dari Kekerasan
Saat ini, jumlah prajurit perempuan dalam TNI masih jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Dengan diperpanjangnya usia pensiun, kemungkinan prajurit muda, termasuk perempuan, untuk naik jabatan akan semakin kecil. Hal ini bisa memperpanjang dominasi prajurit senior yang mayoritas laki-laki, membuat perempuan semakin sulit mencapai posisi strategis dalam struktur militer.
Penambahan Kewenangan TNI dan Dampaknya terhadap Keamanan Perempuan
Revisi UU TNI juga menambahkan tiga tugas baru dalam operasi militer selain perang (OMSP), yang mencakup penanganan narkoba dan operasi siber. Perluasan kewenangan ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana akuntabilitas TNI dalam menjalankan tugas-tugas non-perang.
Dalam berbagai konflik atau situasi yang melibatkan aparat keamanan, perempuan sering menjadi kelompok rentan yang terdampak secara langsung. Sejarah mencatat berbagai kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi di daerah-daerah dengan kehadiran militer yang kuat.
Tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat, perluasan peran TNI dalam kehidupan sipil dapat meningkatkan risiko pelanggaran hak-hak perempuan, baik dalam konteks sosial maupun hukum.
Bagaimana Nasib Prajurit Perempuan dalam TNI?
Di sisi internal, revisi ini juga tidak memberikan kepastian yang lebih baik bagi prajurit perempuan. Tidak ada kebijakan khusus yang diperkenalkan untuk meningkatkan jumlah atau peran perempuan dalam TNI, termasuk dalam hal perlindungan hak-hak mereka. Beberapa isu krusial seperti cuti hamil, kesempatan promosi, dan kebijakan keluarga bagi prajurit perempuan masih belum mendapatkan perhatian serius dalam revisi ini.
Jika revisi UU TNI ingin benar-benar inklusif, maka seharusnya ada peraturan yang lebih berpihak kepada prajurit perempuan. Misalnya, dengan memperluas kesempatan bagi mereka untuk menduduki posisi strategis, menjamin perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender di lingkungan militer, serta memastikan kebijakan yang lebih ramah keluarga bagi prajurit perempuan yang sudah menikah.
Revisi UU TNI memang membawa sejumlah perubahan signifikan dalam struktur dan peran militer di Indonesia. Namun, dari perspektif perempuan, banyak aspek dalam revisi ini yang justru berpotensi merugikan.
Mulai dari berkurangnya peluang perempuan dalam jabatan sipil, sulitnya regenerasi prajurit perempuan di TNI, hingga potensi meningkatnya ketidakamanan perempuan di ruang publik akibat perluasan kewenangan militer. Oleh karena itu, sebelum revisi ini disahkan, pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan lebih dalam dampaknya terhadap perempuan.
Revisi UU TNI harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berorientasi pada kepentingan militer semata, tetapi juga memperhatikan prinsip kesetaraan gender, hak-hak perempuan, dan perlindungan terhadap kelompok rentan di masyarakat. Tanpa itu, revisi ini berisiko menjadi langkah mundur dalam upaya mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.
Baca Juga: Bawaslu Inisiasi Revisi UU Pemilu Demi Kuota 30% Perempuan Benar-Benar Terealisasi
(*)