Parapuan.co - Setiap perempuan memiliki peluang yang sama dalam berbagai aspek, termasuk mendapatkan pendidikan hingga berkarier sesuai bidangnya. Sayangnya, ada beberapa hal yang membuat peluang perempuan seakan terbatas dalam meraih impiannya, termasuk ketika mereka terdiagnosis autisme.
Meskipun sudah banyak kampanye tentang pemberdayaan perempuan, kenyataannya perempuan autistik masih kerap dipandang sebelah mata. Bahkan, kondisi yang mereka alami seakan dianggap sebagai 'aib'.
Tak jarang, perempuan dengan autisme menghadapi berbagai tantangan sosial tanpa dukungan yang memadai. Ditambah lagi, penulis kerap mendapati bahwa autisme pada perempuan terlambat terdiagnosis.
Hal ini disebakan karena perempuan dengan autisme menunjukkan gejala yang berbeda dibandingkan laki-laki. Walau begitu, bukan berarti gejala autisme pada perempuan ini bisa diabaikan.
Bias Gender dalam Diagnosis Autisme pada Perempuan
Perempuan dengan autisme sering kali tidak terdiagnosis atau terlambat didiagnosis karena adanya bias gender dalam kriteria diagnostik yang lebih berfokus pada gejala anak laki-laki. Walaupun kriteria diagnosis autisme terus berkembang, namun masih terdapat kesenjangan dalam mendeteksi autisme pada perempuan.
Menurut sebuah penelitian oleh J Child Psychol Psychiatry, perempuan cenderung mengembangkan strategi kamuflase sosial, yaitu upaya sadar atau tidak sadar untuk menyembunyikan karakteristik autistik agar dapat beradaptasi dengan norma sosial yang ada.
Strategi ini meliputi meniru perilaku sosial orang lain, mempersiapkan skrip percakapan, atau menekan perilaku repetitif. Akibatnya, gejala autisme pada perempuan menjadi kurang terlihat, sehingga menyulitkan proses diagnosis.
Selain itu, menurut penulis, stereotip sosial tentang peran gender juga berkontribusi pada pengabaian terhadap perempuan dengan autisme. Masyarakat sering memiliki ekspektasi tertentu tentang bagaimana perempuan seharusnya berperilaku, seperti menjadi lebih sosial, empati, dan komunikatif.
Baca Juga: Maskapai Pertama dengan Layanan Ramah Autisme, Misi Inklusivitas untuk Semua
Ketika seorang perempuan menunjukkan perilaku yang berbeda dari norma ini, sering kali hal tersebut dianggap sebagai kepribadian unik atau masalah psikologis lainnya, bukan sebagai indikasi autisme. Hal ini semakin memperkuat kesalahpahaman dan menghambat perempuan untuk mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Tantangan yang Dihadapi Perempuan Dewasa dengan Autisme
Penulis juga menyoroti bahwa perempuan dewasa dengan autisme menghadapi berbagai tantangan, termasuk kesulitan dalam menjalin dan mempertahankan hubungan sosial, rentan terhadap gangguan kecemasan dan depresi, serta sering menjadi korban bullying karena dianggap berbeda atau aneh.
Mereka mungkin memiliki motivasi tinggi untuk berinteraksi sosial, namun kesulitan dalam memahami dan menghadapi konflik sosial, yang dapat menyebabkan isolasi dan perasaan kesepian. Kurangnya diagnosis yang tepat juga berarti mereka tidak mendapatkan dukungan untuk membantu mereka mengatasi tantangan ini.
Belum lagi, stigma buruk pada perempuan dengan autisme seakan tidak terpatahkan. Contohnya, perempuan autis tidak bisa melanjutkan pendidikan karena tidak bisa berpikir dan mengasah bakatnya. Padahal kenyatannya, anggapan ini tidak sepenuhnya benar.
Ada beberapa sosok autistik perempuan yang justru menunjukkan kemampuan dan sukses di bidangnya masing-masing. Contohnya Emily Dickinson, seorang penulis sastra ternama.
Merujuk dari laman Behavioral, Emily Dickinson berhasil menjadi seorang penulis sastra ternama meskipun dirinya terdiagnosis austime. Emily bahkan juga menulis buku berjudul "Writers on the Spectrume: How Autism and Asperger's Syndrome". Sesuai dengan judulnya, buku tersebut berisikan tentang sosok perempuan yang cukup tertutup dan tidak banyak bergaul. Hal ini terjadi karena anggapan anak autisme yang perlu disembunyikan.
Selain Emily Dickinson, ada pula sosok Barbara McClintock seorang ilmuwan. Nama Barbara McClintock dikenal karena kemampuannya yang membuat terbosan terbaru di bidang kromosom. Walaupun dirinya dikenal sebagai ilmuwan ternama, rupanya Barbara juga menunjukkan gejala autisme yang membuatnya lebih sulit fokus dan berkomunikasi dengan orang lain.
Baca Juga: Tingkatkan Keterampilan Anak dengan Autisme, Ini Pusat Terapi Sensori Integrasi
Berkaca dari dua sosok di atas, bisa disimpulkan bahwa perempuan dengan autisme memiliki kesempatan yang sama dalam berkarier atau meraih impiannya. Sekalipun memiliki kekurangan dan dipandang sebelah mata oleh banyak orang.
Sebagai pengingat, penting bagi kita untuk meningkatkan pemahaman tentang bagaimana autisme memanifestasikan diri pada perempuan dapat membantu mengurangi stigma dan mendorong lingkungan yang lebih inklusif.
Lebih jauh lagi, penting untuk melibatkan perempuan dengan autisme dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka. Dengan mendengarkan suara dan perspektif mereka, kita dapat memastikan bahwa dukungan dan layanan yang disediakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini juga membantu dalam membangun rasa memiliki dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Secara keseluruhan, mengatasi pengabaian dan pandangan sebelah mata terhadap perempuan dewasa dengan autisme memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk profesional kesehatan, peneliti, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.
Dengan meningkatkan kesadaran, menyediakan dukungan yang sesuai, dan mendorong inklusi, kita dapat membantu perempuan dengan autisme untuk mencapai potensi penuh mereka dan menjalani kehidupan yang memuaskan.
Baca Juga: Ahli Jelaskan Dua Jenis Terapi Utama untuk Anak dengan Autisme
(*)