Pemecatan Guru Besar UGM: Refleksi Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Arintha Widya - Selasa, 8 April 2025
Refleksi kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Refleksi kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Freepik

Parapuan.co - Pemecatan Edy Meiyanto, guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), karena terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswanya, menjadi peristiwa penting yang harus dibaca sebagai momentum reformasi budaya kampus. Tindakan tegas ini menunjukkan bahwa jabatan akademik tinggi tidak boleh lagi menjadi tameng bagi pelaku kekerasan seksual.

Keputusan pemberhentian terhadap Edy Meiyanto diambil berdasarkan hasil pemeriksaan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM, yang menemukan adanya pelanggaran terhadap peraturan rektor dan kode etik dosen. Pemecatannya juga menjadi bentuk perlindungan terhadap korban yang sudah cukup lama menantikan keadilan. 

Kronologi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di UGM

Untuk lebih jelasnya terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan Edy Meiyanto (EM), berikut kronologinya sebagaimana dikutip dari Kompas.com:

  • Tahun 2023–2024

Tindakan kekerasan seksual oleh EM terjadi secara berulang. Modusnya dengan pendekatan akademik, seperti bimbingan, diskusi, hingga pertemuan di luar kampus.

  • Juli 2024

Salah satu mahasiswa korban melaporkan kasus tersebut ke Fakultas Farmasi. Setelah itu, UGM membentuk Komite Pemeriksa lewat Keputusan Rektor No. 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024.

  • 12 Juli 2024

EM dibebastugaskan dari seluruh aktivitas Tri Dharma dan dicopot dari jabatan sebagai Ketua CCRC untuk menjaga ruang aman bagi korban.

  • 1 Agustus – 31 Oktober 2024

Komite Pemeriksa melakukan penyelidikan. Sebanyak 13 korban dan saksi diperiksa. Pemeriksaan melibatkan pengumpulan bukti, mendengar keterangan pelaku dan korban secara terpisah.

  • 20 Januari 2025

Rektor UGM menetapkan sanksi pemecatan tetap kepada EM melalui Keputusan Rektor Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025.

Baca Juga: LPSK Sebut Permohonan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Meningkat, Termasuk Kasus Agus

Sekretaris Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi seperti melansir Antara via Kompas.com, menyampaikan bahwa, "Pimpinan UGM sudah menjatuhkan sanksi kepada pelaku berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. Penjatuhan sanksi ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku."

Kasus ini menjadi refleksi bahwa kampus, sebagai ruang pendidikan dan pembinaan karakter, justru masih rentan terhadap praktik kekerasan seksual berbasis relasi kuasa. EM terbukti melakukan kekerasan seksual sepanjang 2023–2024 dengan modus pendekatan akademik seperti bimbingan dan diskusi, yang banyak terjadi di luar kampus.

Hanya saja, status guru besar EM belum dicabut karena masih menunggu keputusan Kementerian, seperti disampaikan Andi, "Status guru besar itu diajukan kepada pemerintah, khususnya kementerian. SK-nya dikeluarkan oleh Kementerian. Jadi, kalau kemudian guru besarnya ingin dicabut, keputusannya juga harus dikeluarkan oleh kementerian."

Fakta bahwa status akademik setinggi guru besar belum otomatis gugur meski pelaku sudah terbukti bersalah mencerminkan adanya celah dalam sistem kepegawaian perguruan tinggi. Sistem ini cenderung lebih melindungi institusi dan reputasi daripada memberi ruang aman dan keadilan bagi korban.

UGM memang telah membentuk Satgas PPKS sejak 2022 dan mengintegrasikan kebijakan internal dengan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Namun, tindakan nyata seperti pemecatan ini harus dilanjutkan dengan reformasi budaya kampus secara menyeluruh—budaya yang berpihak pada korban, yang membongkar ketimpangan kuasa, dan memastikan bahwa kampus menjadi ruang aman.

Kekerasan seksual di lingkungan akademik tidak akan pernah tuntas jika gelar dan jabatan masih dijadikan perisai. Pemecatan EM adalah awal. Kampus-kampus lain harus meneladani langkah UGM, dan negara melalui kementerian harus tegas menyusul dengan mencabut status guru besar tersebut.

Hanya dengan cara inilah keadilan untuk korban benar-benar ditegakkan dan budaya kampus yang sehat bisa dilahirkan kembali.

Adanya hukuman dan sanksi yang tegas diharapkan membuat pelaku jera dan tidak melahirkan pelaku-pelaku lainnya, baik dari kalangan akademisi, pejabat pemerintahan, oknum penegak hukum, atau yang lainnya.

Baca Juga: KemenPPPA Turut Kawal Kasus Kekerasan Seksual yang Melibatkan Oknum Kepolisian

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya