Kronologi Kasus Ika Natassa dan Perempuan di Tengah Jerat Misogini Digital

Tim Parapuan - Selasa, 8 April 2025
Kronologi kasus Ika Natassa dan perempuan di tengah jerat misogini digital.
Kronologi kasus Ika Natassa dan perempuan di tengah jerat misogini digital. (Instagram @ikanatassa)

 

Konsep ini, menurut jurnal Personality and Social Psychology Review tahun 2023, menggambarkan kondisi di mana laki-laki merasa terancam ketika peran dan dominasi gender mereka dipertanyakan atau ditantang. Di sisi lain, budaya misogini yang melekat dalam struktur sosial juga menjadi alasan mengapa perempuan yang vokal dianggap sebagai ancaman.

Selain itu, dalam jurnal Social and Personality Psychology Compass juga menjelaskan bahwa misogini bukan sekadar kebencian terhadap perempuan, tapi juga upaya sistematis untuk mempertahankan tatanan sosial patriarki dengan menghukum perempuan yang mencoba keluar dari peran tradisional.

Ika Natassa tidak hanya menjadi korban pelecehan, tapi juga korban dari opini publik yang gagal melihat substansi masalah. Ia menjadi sasaran karena memilih untuk membela diri, sesuatu yang seharusnya dihargai, bukan dicela. Dalam masyarakat yang masih kerap menoleransi kekerasan verbal terhadap perempuan, tindakan Ika seharusnya menjadi contoh yang positif.

Langkah Ika untuk melapor kepada Bupati menunjukkan bahwa ia memahami saluran institusional yang tepat dan tidak asal main hakim sendiri. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa membela diri tidak selalu harus berarti balas dendam, tapi bisa juga berarti edukasi, baik terhadap pelaku maupun sistem yang menaunginya.

Apa yang dialami Ika seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua, terutama bagi perempuan yang mungkin sering merasa dilemahkan atau takut bersuara. Kita butuh lebih banyak perempuan yang berani, tegas, dan tahu hak-haknya sebagai warga negara maupun individu.

Namun demikian, dukungan terhadap perempuan seperti Ika tidak bisa hanya datang dari sesama perempuan. Laki-laki pun harus turut terlibat dalam mendekonstruksi norma-norma usang yang membatasi kebebasan perempuan untuk bersuara dan membela diri.

Budaya digital hari ini memerlukan etika yang lebih matang dan empati yang lebih luas. Kebebasan berpendapat tidak boleh dijadikan tameng untuk menyerang individu lain, apalagi berdasarkan gender. Pejabat publik harus menjadi contoh dalam bersikap profesional dan manusiawi di ruang publik. 

Penting untuk diingat bahwa pelaporan bukanlah bentuk pembalasan, tetapi bagian dari proses menuju ruang digital yang lebih aman, adil, dan inklusif. Tidak ada yang salah dengan menggunakan hak kita untuk membela diri, apalagi jika dilakukan melalui jalur yang benar.

Kasus ini memberi pelajaran besar bahwa membungkam perempuan yang bersuara bukan lagi praktik yang bisa diterima. Jika ingin masyarakat yang lebih adil, kita perlu lebih banyak mendengar, lebih banyak memahami, dan jauh lebih sedikit menghakimi.

Baca Juga: Stigma Masalah Kesehatan Perempuan yang Masih Kerap Dianggap Hormonal

(*)

Celine Night



REKOMENDASI HARI INI

Pneumonia Bisa Disebabkan Oleh Virus dan Bakteri: Apa Perbedaannya?