Parapuan.co - Di dunia yang semakin terkoneksi secara digital, perempuan kerap menemukan dirinya menjadi sasaran serangan yang tidak hanya menyakitkan, tetapi juga mencerminkan akar budaya misogini. Ketika seorang perempuan memilih untuk bersuara, menegakkan batas, atau membela dirinya sendiri, respons yang diterimanya sering kali tidak proporsional.
Dalam masyarakat yang masih dibentuk oleh nilai-nilai patriarki, keberanian perempuan untuk berdiri tegak dianggap sebagai ancaman. Sayangnya, sikap ini tidak hanya datang dari laki-laki, tetapi juga dari sesama perempuan yang telah lama dibentuk oleh norma sosial yang sama.
Kasus pelecehan daring yang dialami oleh penulis terkenal Ika Natassa baru-baru ini menjadi sorotan publik dan menunjukkan sisi dari sistem misogini yang masih mengakar kuat di ruang digital, terutama terhadap perempuan yang vokal dan berani membela diri.
Kronologi kasus ini bermula dari sebuah komentar bernada menghina yang ditulis oleh seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) laki-laki dari Lampung Barat di platform X. Komentar tersebut menyebut Ika sebagai "mandul" dan "sebatang kara," dua frasa yang sangat menyakitkan dan seksis.
Ika Natassa, yang selama ini dikenal dengan karya-karyanya yang memberdayakan perempuan, tidak tinggal diam. Ia mengambil tindakan konkret dengan menyampaikan tangkapan layar komentar tersebut langsung kepada Bupati Lampung Barat melalui pesan pribadi via Instagram.
Dalam pesannya, Ika tidak meminta agar pelaku dihukum, tetapi agar tindakan seperti ini tidak lagi terjadi, apalagi dilakukan oleh seorang aparatur sipil negara. Respons dari pelaku berupa penghapusan komentar dan permintaan maaf secara pribadi tidak menyurutkan langkah Ika.
View this post on Instagram
Justru setelah pelaporan tersebut menjadi viral, banyak reaksi bermunculan dari netizen, baik yang mendukung maupun yang menyerang balik Ika. Beberapa menyebut langkah Ika sebagai bentuk "abuse of power." Tuduhan tersebut akhirnya menyingkap, bagaimana masyarakat sering kali lebih siap membela pelaku laki-laki daripada perempuan yang menjadi korban.
Kasus ini menjadi cermin dari fenomena lebih besar, yaitu perempuan yang berani menyuarakan ketidakadilan sering kali dihadapkan pada perlawanan balik, tidak hanya dari laki-laki, tapi juga dari perempuan lain yang telah lama terpengaruh oleh cara berpikir patriarki.
Tidak sedikit yang menganggap bahwa perempuan sebaiknya diam, tidak reaktif, dan menerima kritik atau bahkan hinaan dengan tenang. Dalam konteks sosial yang lebih luas, reaksi negatif terhadap Ika Natassa bisa dilihat sebagai contoh nyata dari apa yang disebut sebagai maskulinitas rapuh.
Baca Juga: Rosleri Yanti: Pemimpin Perempuan yang Menyatukan Hati, Tim, dan Misi Kesetaraan
Konsep ini, menurut jurnal Personality and Social Psychology Review tahun 2023, menggambarkan kondisi di mana laki-laki merasa terancam ketika peran dan dominasi gender mereka dipertanyakan atau ditantang. Di sisi lain, budaya misogini yang melekat dalam struktur sosial juga menjadi alasan mengapa perempuan yang vokal dianggap sebagai ancaman.
Selain itu, dalam jurnal Social and Personality Psychology Compass juga menjelaskan bahwa misogini bukan sekadar kebencian terhadap perempuan, tapi juga upaya sistematis untuk mempertahankan tatanan sosial patriarki dengan menghukum perempuan yang mencoba keluar dari peran tradisional.
Ika Natassa tidak hanya menjadi korban pelecehan, tapi juga korban dari opini publik yang gagal melihat substansi masalah. Ia menjadi sasaran karena memilih untuk membela diri, sesuatu yang seharusnya dihargai, bukan dicela. Dalam masyarakat yang masih kerap menoleransi kekerasan verbal terhadap perempuan, tindakan Ika seharusnya menjadi contoh yang positif.
Langkah Ika untuk melapor kepada Bupati menunjukkan bahwa ia memahami saluran institusional yang tepat dan tidak asal main hakim sendiri. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa membela diri tidak selalu harus berarti balas dendam, tapi bisa juga berarti edukasi, baik terhadap pelaku maupun sistem yang menaunginya.
Apa yang dialami Ika seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua, terutama bagi perempuan yang mungkin sering merasa dilemahkan atau takut bersuara. Kita butuh lebih banyak perempuan yang berani, tegas, dan tahu hak-haknya sebagai warga negara maupun individu.
Namun demikian, dukungan terhadap perempuan seperti Ika tidak bisa hanya datang dari sesama perempuan. Laki-laki pun harus turut terlibat dalam mendekonstruksi norma-norma usang yang membatasi kebebasan perempuan untuk bersuara dan membela diri.
Budaya digital hari ini memerlukan etika yang lebih matang dan empati yang lebih luas. Kebebasan berpendapat tidak boleh dijadikan tameng untuk menyerang individu lain, apalagi berdasarkan gender. Pejabat publik harus menjadi contoh dalam bersikap profesional dan manusiawi di ruang publik.
Penting untuk diingat bahwa pelaporan bukanlah bentuk pembalasan, tetapi bagian dari proses menuju ruang digital yang lebih aman, adil, dan inklusif. Tidak ada yang salah dengan menggunakan hak kita untuk membela diri, apalagi jika dilakukan melalui jalur yang benar.
Kasus ini memberi pelajaran besar bahwa membungkam perempuan yang bersuara bukan lagi praktik yang bisa diterima. Jika ingin masyarakat yang lebih adil, kita perlu lebih banyak mendengar, lebih banyak memahami, dan jauh lebih sedikit menghakimi.
Baca Juga: Stigma Masalah Kesehatan Perempuan yang Masih Kerap Dianggap Hormonal
(*)
Celine Night