Data BPS: Fenomena Perempuan Jadi Pencari Nafkah Utama Keluarga, Mandiri Menopang Ekonomi

Arintha Widya - Kamis, 10 April 2025
Data BPS ungkap banyak perempuan jadi pencari nafkah utama keluarga.
Data BPS ungkap banyak perempuan jadi pencari nafkah utama keluarga. Freepik

Parapuan.co - Di tengah kuatnya norma gender tradisional yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga, Indonesia kini menyaksikan fenomena baru: semakin banyak perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 mencatat bahwa sebanyak 14,37 persen pekerja perempuan di Indonesia kini menyandang status female breadwinners—yakni mereka yang memiliki penghasilan terbesar dalam rumah tangga atau bahkan menjadi satu-satunya sumber pendapatan keluarga.

Hal tersebut terungkap dalam publikasi "Cerita Data Statistik untuk Indonesia" BPS akhir tahun 2024 lalu. Berikut uraian tentang banyaknya perempuan yang menjadi pencari nafkah utama keluarga di Indonesia yang dirangkum PARAPUAN!

Perubahan Peran dalam Keluarga Tradisional

Norma sosial yang selama ini mengakar, seperti anggapan bahwa perempuan seharusnya fokus pada urusan domestik, mulai bergeser. Studi Setyonaluri et al. (2021) menemukan bahwa meskipun norma tradisional masih kuat, realita ekonomi justru mendorong perempuan untuk turut aktif dalam sektor kerja.

Dalam banyak kasus, mereka bahkan menggantikan peran laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Ini menandai perubahan dalam dinamika keluarga Indonesia, dari struktur patriarkis menuju pola keluarga dua pencari nafkah (dual-earners family). Bahkan dalam beberapa kasus, BPS mencatat terdapat perempuan menikah yang menjadi satu-satunya penyokong finansial keluarga.

Profil Female Breadwinners di Indonesia

Berdasarkan data BPS, mayoritas female breadwinners di Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (64 persen). Kota-kota besar menawarkan lebih banyak peluang kerja dan lingkungan sosial yang cenderung lebih inklusif terhadap perempuan bekerja. Selain itu, tingginya biaya hidup di perkotaan juga menjadi faktor pendorong perempuan ikut bekerja demi memenuhi kebutuhan dasar keluarga.

Dari sisi usia, kelompok usia produktif (25–54 tahun) mendominasi, namun menariknya, persentase tertinggi justru terdapat pada perempuan usia 60 tahun ke atas. Hal ini mencerminkan bagaimana perempuan lansia terpaksa tetap bekerja karena alasan ekonomi, minimnya akses perlindungan sosial, atau karena pasangan sudah tidak mampu lagi mencari nafkah.

Baca Juga: Perempuan Mandiri Finansial setelah Menikah Bukan Bentuk Kedurhakaan

Sementara itu, dari tingkat pendidikan, lebih dari separuh female breadwinners memiliki pendidikan dasar (belum tamat SD hingga tamat SMP). Perempuan dengan pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pasangan yang juga berpenghasilan cukup, sehingga tidak selalu terdorong menjadi pencari nafkah utama.

Secara status perkawinan, sebagian besar female breadwinners berstatus menikah (kawin), dan hanya sekitar 40 persen yang berperan sebagai kepala rumah tangga. Banyak di antara mereka tetap bekerja karena pendapatan suami tidak mencukupi atau tidak stabil. Bagi perempuan yang berstatus belum menikah, cerai hidup, atau cerai mati, tanggung jawab ekonomi menjadi sepenuhnya berada di pundak mereka.

Beban Ganda dan Tantangan Sosial

Menjadi pencari nafkah utama tidak serta merta membebaskan perempuan dari tugas domestik. Mereka masih memikul beban ganda—mengurus rumah tangga, merawat anak, dan bekerja penuh waktu.

Menurut data global, perempuan mengerjakan 75 persen pekerjaan rumah tangga dan perawatan tak dibayar (IDS, 2016). Akibatnya, para female breadwinners rentan mengalami kelelahan fisik, mental, hingga emosional.

Kondisi ini bertentangan dengan komitmen global dalam Tujuan 5 SDGs (Kesetaraan Gender) yang menyerukan pembagian tugas rumah tangga secara adil, pengakuan terhadap pekerjaan tak dibayar, serta hak perempuan atas akses ekonomi dan teknologi.

Perlu Kebijakan yang Mendukung

Fenomena meningkatnya female breadwinners perlu mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan publik. Diperlukan upaya untuk:

  • Menyediakan akses pelatihan kerja dan pendidikan yang inklusif bagi perempuan,
  • Meningkatkan perlindungan sosial dan jaminan pekerjaan yang ramah gender,
  • Mendorong perubahan norma sosial melalui kampanye kesetaraan gender di tingkat keluarga dan masyarakat.

Penguatan peran perempuan dalam ekonomi rumah tangga bukan hanya strategi bertahan hidup keluarga, tetapi juga bentuk kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional.

Keberadaan female breadwinners patut diapresiasi dan didukung agar mereka tidak hanya menjadi mandiri secara finansial, tetapi juga tetap sehat secara fisik dan mental dalam menjalani peran gandanya.

Baca Juga: Perempuan sebagai Leader dalam Mengatur Keuangan Rumah Tangga: Hal yang Perlu Diketahui

(*)

Sumber: bps.go.id
Penulis:
Editor: Arintha Widya