Berkaca dari Adolescence, Mengapa Toxic Masculinity Mengancam Kehidupan Sosial Remaja?

Arintha Widya - Kamis, 10 April 2025
Toxic masculinity yang mengancam kehidupan sosial remaja.
Toxic masculinity yang mengancam kehidupan sosial remaja. Freepik

Akibatnya, remaja laki-laki sering kali hanya memiliki sedikit teman dekat. Meski mereka merasakan kedekatan dan emosional, mereka jarang menunjukkannya karena takut tidak sesuai dengan gambaran maskulinitas.

Menurut Patrick Davarhanian, guru AP Psikologi di Clark, "Penelitian APA membahas konsekuensi nyata dari dekade-dekade maskulinitas yang berpusat pada laki-laki. Anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan toxic masculinity kerap menjadi pria dengan kebiasaan tidak sehat, seperti menghindari layanan kesehatan mental, enggan mencari pertolongan, hingga lebih rentan terhadap kekerasan dan bunuh diri."

Dampaknya Tak Hanya untuk Laki-Laki

Toxic masculinity bukan hanya berdampak pada laki-laki, tetapi juga perempuan. Seorang profesor dari University of Aberdeen menyatakan bahwa laki-laki yang merasa terintimidasi oleh perempuan sering menunjukkan dominasi dengan mengintimidasi atau melecehkan.

Bahkan perempuan dengan ciri yang dianggap "maskulin" lebih sering menjadi korban pelecehan daripada yang berpenampilan feminin. Winnie Ann Masaoy, seorang siswi yang diwawancarai Clark Chronicle, menyampaikan hal tersebut.

"Perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender ketika laki-laki tidak bisa menerima sisi rentan mereka sendiri. Mereka melampiaskan agresi kepada perempuan, menciptakan lingkungan yang tidak aman, membuat perempuan takut keluar malam atau memakai pakaian yang dianggap menggoda," ungkapnya.

Oleh sebab itu, sudah saatnya kita mendefinisikan ulang apa artinya menjadi "jantan". Menjadi laki-laki yang berani menunjukkan empati, menangis, atau takut bukanlah bentuk kelemahan—itu justru adalah keberanian.

Karena pada akhirnya, membiarkan remaja laki-laki menjadi manusia seutuhnya adalah bentuk maskulinitas yang paling sejati.

Baca Juga: Norma Maskulinitas: Menghambat Pemberdayaan VS Mendorong Kesetaraan

(*)

Penulis:
Editor: Arintha Widya


REKOMENDASI HARI INI

Pneumonia Bisa Disebabkan Oleh Virus dan Bakteri: Apa Perbedaannya?