Berkaca dari Adolescence, Mengapa Toxic Masculinity Mengancam Kehidupan Sosial Remaja?

Arintha Widya - Kamis, 10 April 2025
Toxic masculinity yang mengancam kehidupan sosial remaja.
Toxic masculinity yang mengancam kehidupan sosial remaja. Freepik

Parapuan.co - Di tengah perkembangan zaman yang semakin terbuka terhadap keragaman identitas dan ekspresi gender, masih ada satu masalah sosial yang kerap terabaikan, namun dampaknya begitu besar yaitu toxic masculinity. Konsep ini mengacu pada gambaran budaya tentang kejantanan yang mengagungkan ketegaran, kekuatan, dominasi, dan ketangguhan emosional, yang justru bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang.

Menurut Dictionary.com, toxic masculinity adalah konsep budaya tentang kejantanan yang mengagungkan ketegaran, kekuatan, keperkasaan, dan dominasi, namun secara sosial justru maladaptif atau merugikan kesehatan mental.

Lantas, bagaimana toxic masculinity bisa mengancam kehidupan sosial remaja, seperti yang diangkat dalam serial Netflix Adolescence yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini? Berikut penjelasannya seperti melansir Clark Chronicle di bawah ini!

Ketika Anak Laki-Laki Tidak Boleh 'Lemah'

Masyarakat selama bertahun-tahun telah menormalisasi frasa seperti "jangan cengeng", "bersikaplah seperti laki-laki", atau "kamu terlalu lembek". Ungkapan-ungkapan ini muncul setiap kali seorang laki-laki menunjukkan emosi yang dianggap terlalu lembut atau membuatnya tampak rentan.

Maskulinitas toksik semacam ini bisa berasal dari bawaan lahir maupun "ajaran" dari orang sekitar di lingkungan tempat seorang anak tumbuh. Artinya, lingkungan turut andil dalam membentuk pola pikir beracun ini.

Sejak kecil, anak laki-laki diajarkan untuk menahan emosi mereka karena mengungkapkannya dianggap “mengancam kejantanan.” Kebiasaan ini berdampak serius ketika mereka beranjak remaja. Ketidakmampuan mereka untuk terbuka soal pengalaman traumatis atau perasaan membuat mereka rentan terhadap depresi, isolasi sosial, bahkan bunuh diri.

Sulitnya Membangun Hubungan Sosial

American Psychological Association (APA) menjelaskan bahwa anak laki-laki dan pria lebih suka menjalin koneksi melalui aktivitas fisik daripada percakapan emosional karena takut dianggap tidak "jantan".

Baca Juga: Selingkuh dan Maskulinitas dalam Serial Jangan Salahkan Aku Selingkuh Marshanda

Akibatnya, remaja laki-laki sering kali hanya memiliki sedikit teman dekat. Meski mereka merasakan kedekatan dan emosional, mereka jarang menunjukkannya karena takut tidak sesuai dengan gambaran maskulinitas.

Menurut Patrick Davarhanian, guru AP Psikologi di Clark, "Penelitian APA membahas konsekuensi nyata dari dekade-dekade maskulinitas yang berpusat pada laki-laki. Anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan toxic masculinity kerap menjadi pria dengan kebiasaan tidak sehat, seperti menghindari layanan kesehatan mental, enggan mencari pertolongan, hingga lebih rentan terhadap kekerasan dan bunuh diri."

Dampaknya Tak Hanya untuk Laki-Laki

Toxic masculinity bukan hanya berdampak pada laki-laki, tetapi juga perempuan. Seorang profesor dari University of Aberdeen menyatakan bahwa laki-laki yang merasa terintimidasi oleh perempuan sering menunjukkan dominasi dengan mengintimidasi atau melecehkan.

Bahkan perempuan dengan ciri yang dianggap "maskulin" lebih sering menjadi korban pelecehan daripada yang berpenampilan feminin. Winnie Ann Masaoy, seorang siswi yang diwawancarai Clark Chronicle, menyampaikan hal tersebut.

"Perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender ketika laki-laki tidak bisa menerima sisi rentan mereka sendiri. Mereka melampiaskan agresi kepada perempuan, menciptakan lingkungan yang tidak aman, membuat perempuan takut keluar malam atau memakai pakaian yang dianggap menggoda," ungkapnya.

Oleh sebab itu, sudah saatnya kita mendefinisikan ulang apa artinya menjadi "jantan". Menjadi laki-laki yang berani menunjukkan empati, menangis, atau takut bukanlah bentuk kelemahan—itu justru adalah keberanian.

Karena pada akhirnya, membiarkan remaja laki-laki menjadi manusia seutuhnya adalah bentuk maskulinitas yang paling sejati.

Baca Juga: Norma Maskulinitas: Menghambat Pemberdayaan VS Mendorong Kesetaraan

(*)

Penulis:
Editor: Arintha Widya