Parapuan.co - Kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang dokter peserta pendidikan spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung baru-baru ini mengejutkan publik. Priguna Anugerah Pratama, dokter residen anestesi, dilaporkan oleh korban yang merupakan anggota keluarga di RSHS.
Berbicara mengenai kasus pemerkosaan seperti melibatkan Priguna, sebagian darinya bisa mengarah pada dorongan seksual menyimpang atau kelainan seksual, atau disebut pula dengan gangguan parafilik.
Tanpa membenarkan tindakan pelaku, mengetahui apa itu gangguan parafilik sebagai bagian dari isu kesehatan mental adalah penting, sehingga kejadian serupa bisa diantisipasi di masa depan. Harapannya, dokter maupun profesi lain dapat mempertimbangkan pemeriksaan terkait gangguan kesehatan mental dan potensinya.
Yuk, kenali apa itu parafilik dan mengapa harus diwaspadai sebagaimana dikutip dari berbagai sumber via Kompas.com!
Apa Itu Gangguan Parafilik?
Parafilia merujuk pada ketertarikan seksual terhadap objek, situasi, atau individu yang tidak biasa—termasuk yang tidak dapat memberikan persetujuan, seperti anak-anak. Namun, penting untuk memahami bahwa "tidak semua bentuk parafilia tergolong gangguan atau kejahatan".
Mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), seseorang baru dapat didiagnosis mengalami gangguan parafilik jika fantasi atau perilaku seksualnya:
- Menyebabkan penderitaan atau kesulitan psikologis yang signifikan,
- Mengganggu fungsi sosial atau kehidupan sehari-hari,
- Melibatkan orang lain tanpa persetujuan mereka.
Dengan kata lain, "penyimpangan seksual menjadi masalah hukum dan sosial" ketika melibatkan pihak lain secara paksa, seperti dalam kasus di RSHS Bandung.
Jenis-Jenis Gangguan Parafilik
Baca Juga: Dugaan Pelecehan, Blake Lively Tuntut Keadilan dan Gugat Justin Baldoni
Berikut beberapa jenis gangguan parafilik yang telah diidentifikasi dalam literatur psikiatri:
- Eksibisionistik: dorongan memperlihatkan alat kelamin kepada orang asing tanpa persetujuan.
- Voyeuristik: keinginan mengintip orang lain yang sedang telanjang atau berhubungan seksual.
- Frotteuristik: menyentuh atau menggesekkan alat kelamin kepada orang lain di tempat umum tanpa izin.
- Pedofilik: ketertarikan seksual terhadap anak-anak yang belum memasuki masa pubertas.
- Fetishistik: gairah seksual terhadap benda mati seperti pakaian dalam atau sepatu.
- Transvestik: kepuasan seksual dari mengenakan pakaian lawan jenis.
- Masokisme seksual: kesenangan seksual dari rasa sakit atau penghinaan terhadap diri sendiri.
- Sadisme seksual: kenikmatan seksual dengan menyakiti atau mempermalukan orang lain.
Ketika Dorongan Menyimpang Menjadi Ancaman
Seseorang dengan kecenderungan parafilik belum tentu akan melakukan kejahatan. Namun, ketika dorongan tersebut tidak dapat dikontrol dan diwujudkan tanpa persetujuan pihak lain, maka hal ini bisa menjadi tindakan kriminal yang membahayakan.
Dalam konteks medis dan sosial, penting untuk memiliki kesadaran bahwa gangguan ini bisa dikelola. Sayangnya, banyak orang yang memiliki kecenderungan menyimpang merasa malu atau takut mencari bantuan, sehingga risikonya meningkat bagi lingkungan sekitar.
Penanganan Gangguan Parafilik
Gangguan parafilik dapat ditangani dengan pendekatan medis dan psikologis, di antaranya:
- Terapi kognitif perilaku (CBT): membantu individu mengenali dan mengubah pola pikir serta perilaku yang menyimpang.
- Pengobatan farmakologis: digunakan untuk menurunkan dorongan seksual atau impuls yang tidak terkendali.
- Konseling dan dukungan sosial: berperan penting dalam proses pemulihan dan pencegahan kambuh.
Jika seseorang merasa memiliki fantasi atau dorongan seksual yang menyimpang dan tidak mampu mengendalikannya, langkah terbaik adalah segera berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.
Penanganan dini tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga dapat mencegah dampak buruk terhadap orang lain.
Menempatkan isu ini dalam konteks kesehatan mental bukan berarti membenarkan perilaku kriminal, melainkan sebagai upaya preventif agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Baca Juga: Catcalling Bukan Candaan Tetapi Bentuk Pelecehan pada Perempuan
(*)