Parapuan.co - Menjelang hari bahagia, calon pengantin mungkin mengalami tekanan, emosi yang naik turun, dan tidak jarang menimbulkan konflik. Pernikahan bukan hanya soal pesta mewah, gaun indah, atau venue megah, melainkan penyatuan dua individu dengan latar belakang, nilai, ekspektasi, bahkan trauma masa lalu yang berbeda.
Dalam fase persiapan pernikahan, banyak pasangan menemukan bahwa mereka mulai berselisih paham tentang hal-hal yang sebelumnya terasa sepele, namun menjadi besar karena adanya tekanan waktu, tekanan keluarga, dan beban ekspektasi.
Konflik ini bukan pertanda hubungan akan gagal, tetapi lebih merupakan ujian awal yang akan menunjukkan bagaimana kamu dan pasangan bisa bekerja sama sebagai tim.
Apabila Kawan Puan sedang berada di titik ini, merasa bingung mengapa persiapan pernikahan terasa lebih melelahkan dibanding menyenangkan, atau merasa hubunganmu mulai renggang justru saat momen sakral sudah dekat, kamu tidak sendirian. Banyak pasangan lain juga mengalaminya.
Dengan memahami konflik apa saja yang rentan muncul menjelang pernikahan, kamu bisa lebih siap secara emosional dan mental untuk menanganinya dengan cara yang sehat. Berikut konflik-konflik yang paling umum terjadi menjelang pernikahan seperti:
1. Tekanan Finansial dan Perencanaan Anggaran
Masalah keuangan adalah sumber stres yang signifikan dalam hubungan, dan hal ini bisa semakin terasa menjelang pernikahan. Mulai dari biaya katering, venue, foto prewedding, hingga biaya mahar dan seserahan, semuanya bisa memicu perdebatan.
Bisa saja kamu merasa perlu berhemat demi kehidupan setelah menikah, sedangkan pasanganmu beranggapan bahwa momen sekali seumur hidup ini harus dirayakan secara maksimal. Konflik semakin besar ketika tidak ada transparansi dalam kondisi keuangan atau saat salah satu pihak merasa menanggung beban lebih besar.
2. Campur Tangan Keluarga dan Harapan Tradisi
Baca Juga: Musim Kondangan, 5 Pakaian Ini Sebaiknya Tidak Dipakai untuk Menghadiri Pernikahan
Keluarga besar sering kali punya peran besar dalam pernikahan, terutama dalam budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Namun, tidak semua pasangan merasa nyaman dengan campur tangan keluarga, apalagi jika permintaan mereka bertolak belakang dengan keinginan pribadi.
Misalnya, kamu menginginkan upacara pernikahan modern, tetapi orang tuamu tetap ingin ritual adat dijalankan. Mungkin juga, keluarga pasanganmu mendesak agar kamu mengikuti aturan tertentu yang tidak sesuai dengan nilai pribadimu. Jika tidak dikomunikasikan dengan baik, hal ini bisa menyebabkan konflik berkepanjangan.
3. Ketidakseimbangan Kertelibatan dalam Persiapan
Salah satu pihak bisa merasa bahwa dia bekerja lebih keras dalam mempersiapkan pernikahan dibanding pasangannya. Misalnya, kamu yang terus berkoordinasi dengan vendor, membuat daftar tamu, mengurus fitting baju, sedangkan pasanganmu tampak pasif.
Hal ini bisa menimbulkan rasa kesal, jenuh, bahkan mempertanyakan komitmen pasangan terhadap pernikahan ini. Rasa tidak adil ini bisa menjadi sumber konflik yang tajam jika tidak dibicarakan dengan terbuka.
4. Konflik Emosional yang Tidak Terselesaikan Sebelumnya
Menjelang pernikahan, kamu dan pasangan akan menghadapi banyak diskusi mendalam hingga mungkin membuka luka lama atau konflik yang selama ini tidak pernah benar-benar diselesaikan.
Misalnya, masalah kepercayaan, trauma masa kecil, atau luka emosional dari hubungan sebelumnya bisa muncul kembali dan memicu argumen tajam. Jika tidak ada kemauan untuk menyelesaikannya secara dewasa, konflik ini bisa menggoyahkan hubungan saat sedang diuji oleh tekanan pernikahan.
Mengapa Konflik Jelang Pernikahan Perlu Dikelola dengan Baik?
Konflik menjelang pernikahan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dianggap sebagai pertanda buruk. Justru, jika kamu dan pasangan bisa menghadapinya dengan komunikasi yang terbuka, empati, dan sikap saling mendengarkan, ini bisa menjadi fondasi kuat untuk membangun pernikahan sehat.
Menghindari konflik atau memaksakan keharmonisan palsu hanya akan membuat masalah tersebut meledak di kemudian hari, saat kehidupan pernikahan sudah dimulai. Maka dari itu, ciptakan ruang untuk berdialog secara jujur, libatkan konselor jika perlu, dan selalu ingat bahwa tujuan kalian bukan hanya "menikah", tapi "menjadi pasangan yang saling tumbuh bersama".
Baca Juga: Kenapa Perempuan Memilih Bertahan dalam Pernikahan Tidak Bahagia?
(*)
*Sebagian dari artikel ini dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence - AI).