Perempuan dan Tas Branded, Saat Konsumsi Baran Mewah Butuh Kesadaran Baru

Tim Parapuan - Selasa, 22 April 2025
Konsumsi barang mewah.
Konsumsi barang mewah. (Freepik)

Parapuan.co - Bagi banyak perempuan, memiliki satu tas branded bisa terasa seperti pencapaian tersendiri. Entah itu tas tangan yang sudah lama diidamkan, atau hadiah istimewa untuk merayakan momen penting dalam hidup.

Tas dari rumah mode ternama seperti Louis Vuitton, Gucci, atau Chanel kerap dianggap bukan sekadar aksesori, melainkan simbol status, pencapaian, bahkan bentuk self-reward.

Media sosial turut memperkuat persepsi ini. Dari konten what’s in my bag hingga unboxing tas jutaan rupiah, eksistensi tas mewah kian lekat dengan gaya hidup perempuan modern.

Tak sedikit yang rela menabung berbulan-bulan, menyicil, atau berburu tas preloved demi bisa mengayunkan satu di antaranya di bahu. Namun, di balik glamornya dunia tas mewah, muncul satu pertanyaan besar, benarkah barang semahal itu sepadan dengan nilai produksinya?

Pertanyaan ini mencuat setelah viralnya sebuah video dan serangkaian unggahan dari produsen asal Tiongkok yang secara terbuka mengungkap biaya produksi sebuah tas branded. Tas-tas dari merek internasional yang biasa dijual belasan hingga puluhan juta rupiah itu, ternyata bisa dibuat dengan ongkos ratusan ribu saja.

Mengutip dari Kompas.com, sekitar 80 persen tas mewah asal Amerika Serikat dan Eropa sebenarnya dibuat di China, kemudian diberi label dan kemasan di negara lain. Dengan biaya produksi yang rendah, merek-merek high-end dapat menjual produk mereka dengan harga tinggi dan meraih keuntungan besar.

Namun, dengan terungkapnya selisih besar antara biaya produksi dan harga jual, banyak konsumen mulai mempertanyakan keputusan belanja mereka. Fenomena ini memicu gelombang diskusi di media sosial dan forum daring, terutama di kalangan perempuan muda yang kini semakin sadar akan pentingnya konsumsi etis.

Tiongkok sendiri diprediksi akan menjadi pasar barang mewah terbesar di dunia pada 2025. Pada 2021, sekitar 21 persen dari total belanja barang mewah global berasal dari negara tersebut. Namun, pertumbuhan ini juga diiringi dengan kritik terhadap kondisi kerja para pekerja di pabrik-pabrik manufaktur.

Di sisi lain, maraknya e-commerce di Tiongkok dan global membuat akses terhadap barang mewah menjadi lebih mudah. Penjualan barang mewah secara online bahkan meningkat 56 persen pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen tetap mencari kemudahan, meski mulai mempertanyakan nilai-nilai di balik produk.

Baca Juga: 5 Tanda Kamu Butuh Fashion Detox dan Ganti Gaya, Simak Solusinya

 

Dampak dari fenomena ini bagi perempuan sangat luas. Banyak perempuan yang selama ini melihat produk fashion mewah sebagai bagian dari identitas diri dan pencapaian, kini dihadapkan pada realitas bahwa harga bukan jaminan atas nilai etis.

Hal tersebut bisa menimbulkan rasa kecewa, bahkan krisis identitas konsumsi. Namun, di sisi lain, ini juga membuka peluang untuk membangun definisi baru tentang gaya dan nilai diri yang tidak bergantung pada label.

Perempuan sebagai konsumen memiliki kekuatan besar untuk mendorong perubahan industri. Jika semakin banyak perempuan yang memilih untuk tidak lagi membeli produk yang eksploitatif atau tidak transparan, maka industri akan terpaksa menyesuaikan diri. Konsumen bisa menjadi penggerak utama menuju sistem fashion yang lebih adil.

Di tengah polemik produksi tas mewah di Tiongkok, muncul satu faktor global lain yang turut mempengaruhi, yaitu perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Ketegangan dagang ini tidak hanya berdampak pada harga barang impor, tetapi juga memperumit rantai pasok industri fashion global.

Bagi konsumen perempuan, perang tarif ini bisa berarti dua hal. Pertama, naiknya harga tas branded karena bea masuk yang lebih tinggi. Lalu kedua, kelangkaan stok akibat gangguan logistik dan distribusi.

Mereka yang terbiasa membeli tas langsung dari butik internasional atau melalui platform e-commerce bisa jadi harus menghadapi harga yang semakin tidak masuk akal, bahkan untuk produk yang sebelumnya dianggap affordable luxury.

Lebih jauh, perang dagang ini juga memaksa beberapa merek melakukan relokasi pabrik dari Tiongkok ke negara lain dengan biaya produksi lebih tinggi, yang lagi-lagi dibebankan kepada konsumen. Artinya, perempuan sebagai pasar utama barang-barang mewah ini bisa jadi harus membayar lebih mahal untuk tas yang kualitas produksinya belum tentu lebih baik.

Kondisi ini mendorong semakin banyak perempuan untuk mengevaluasi keputusan konsumsi mereka. Apakah benar membeli tas jutaan rupiah dari brand besar masih relevan, jika di balik itu semua ada ketidakadilan, ketidaktransparanan, dan ketidakstabilan harga?

Baca Juga: Certified Financial Planner Bagikan Tips Pengaturan Dana Pemeliharaan Tas Branded

Berikut beberapa langkah yang dapat Kawan Puan lakukan ditengah fenomena ini, antara lain:

- Mendukung Merek Lokal

Merek fashion lokal Indonesia kini semakin berkembang dan menawarkan produk berkualitas tinggi dengan harga yang lebih terjangkau. Mendukung merek lokal bukan hanya memperkuat perekonomian dalam negeri, tetapi juga memperbesar peluang bagi industri kreatif perempuan. Banyak brand lokal yang dibuat oleh perempuan, untuk perempuan, dengan semangat pemberdayaan dan kolaborasi.

- Menerapkan Prinsip Slow Fashion

Memilih untuk membeli lebih sedikit, tetapi dengan kualitas yang baik dan tahan lama, dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan tenaga kerja. Slow fashion mengajak setiap perempuan untuk menghargai setiap produk yang dimiliki dan memperpanjang siklus hidupnya, dengan cara merawat, memperbaiki, atau bahkan mewariskannya. Hal ini bisa menjadi bentuk cinta terhadap diri sendiri dan bumi sekaligus.

- Meningkatkan Kesadaran Konsumen

Mengedukasi diri tentang asal-usul produk dan praktik produksi dapat membantu konsumen membuat pilihan yang lebih etis. Perempuan dapat memulai dengan membaca label, mencari tahu siapa di balik produksi barang, dan menggunakan platform digital untuk memverifikasi komitmen brand terhadap keberlanjutan. Kesadaran ini juga bisa menular ke lingkungan sekitar melalui diskusi atau konten edukatif di media sosial.

Transparansi dalam industri fashion harus menjadi norma, bukan pengecualian. Perusahaan yang menjunjung nilai keberlanjutan dan etika harus diberi tempat khusus dalam pilihan konsumen. Sebaliknya, perusahaan yang menutup-nutupi praktik buruknya harus dikritisi dan ditinggalkan.

Akhirnya, terungkapnya biaya produksi barang mewah dari Tiongkok menjadi momen refleksi penting bagi perempuan. Ini adalah saat yang tepat untuk mendefinisikan ulang makna gaya dan eksistensi fashion branded. 

Baca Juga: 5 Tips Atur Anggaran Belanja, Hindari Boros dan Capai Financial Freedom

(*)

Celine Night

 

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri