Di Indonesia, perempuan desa kerap menjadi pionir dalam pelestarian lingkungan, meskipun tanpa gelar dan sorotan media. Di Kendeng, Jawa Tengah, para ibu rela menyemen kaki mereka demi menyuarakan penolakan tambang yang mengancam lingkungan. Di Sumatera Barat, komunitas perempuan adat menjaga hutan dengan ritual dan pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Namun, perjalanan perempuan sebagai penjaga bumi tidak mudah. Minimnya akses terhadap pendidikan, teknologi, dan ruang publik membuat kontribusi mereka sering tidak terlihat. Banyak program lingkungan yang masih bersifat maskulin dan teknokratis, tanpa mempertimbangkan kebutuhan juga perspektif perempuan.
Padahal, perempuan memegang peran penting dalam pendidikan lingkungan di lingkup keluarga. Sejak dini, merekalah yang pertama kali mengajarkan nilai cinta alam kepada anak-anak. Dari memilah sampah hingga menanam pohon, banyak kebiasaan ramah lingkungan dimulai dari rumah, dengan ibu sebagai motor penggeraknya.
Dari sisi politik, representasi perempuan dalam parlemen dan lembaga lingkungan masih terbatas. Hal ini menghambat lahirnya kebijakan yang sensitif gender dan responsif terhadap krisis iklim. Perlu ada afirmasi dan keberpihakan yang membuka akses bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan publik.
Menariknya, di era digital, banyak perempuan muda mulai memanfaatkan media sosial untuk mengedukasi publik tentang isu lingkungan. Mereka membagikan tips hidup minim sampah, mempromosikan slow fashion, dan menantang budaya konsumtif yang merusak alam. Gerakan ini membuktikan bahwa aktivisme tidak harus turun ke jalan, tetapi bisa dimulai dari smartphone di tangan.
Tentu saja, kolaborasi antara perempuan dan laki-laki tetap penting. Isu lingkungan bukan hanya tanggung jawab satu gender. Namun, pengakuan terhadap kontribusi perempuan selama ini patut dikedepankan. Mereka bukan sekadar pelengkap, tapi pemimpin dalam senyap yang pantas mendapatkan tempat sejajar.
Baca Juga: Tak Hanya Berdampak pada Lingkungan, Ini Macam Penyakit Pasca Banjir
Tak sedikit perusahaan sosial dan startup lingkungan yang dipimpin oleh perempuan. Mereka menciptakan inovasi dalam pengelolaan limbah, pertanian organik, hingga energi terbarukan. Perempuan membuktikan bahwa kepedulian lingkungan bisa bertransformasi menjadi solusi konkret dan berkelanjutan.
Meski demikian, masih banyak tantangan struktural yang harus dihadapi. Ketimpangan akses terhadap modal, pelatihan, dan jaringan sering kali menghambat kiprah perempuan dalam gerakan lingkungan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan sektor swasta untuk menciptakan ekosistem yang inklusif dan mendukung.
Ke depan, pendidikan lingkungan yang berperspektif gender perlu diperkuat. Kurikulum di sekolah harus mengakui peran historis perempuan dalam menjaga alam, sekaligus mendorong generasi baru untuk meneruskan warisan ini. Kesadaran ini bukan hanya membentuk perilaku, tapi juga identitas.