Mengenal Ngasirah, Sosok Ibu di Balik Perjuangan Kartini akan Kesetaraan

Arintha Widya - Senin, 21 April 2025
Keluarga RA Kartini termasuk Ngasirah, sosok di balik perjuangan akan kesetaraan.
Keluarga RA Kartini termasuk Ngasirah, sosok di balik perjuangan akan kesetaraan. Wikipedia Common via Tribunnews

Parapuan.co - Di balik sosok Raden Ajeng Kartini yang dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia, ada figur ibu yang tak banyak disorot, namun berperan besar dalam membentuk nilai-nilai kehidupan Kartini.

Dia adalah Mas Ajeng Ngasirah, ibu kandung Kartini, seorang perempuan sederhana yang berasal dari kalangan rakyat biasa dan tumbuh dalam lingkungan religius.

Mengutip Kompas.com, Ngasirah adalah putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara, Jawa Tengah.

Ngasirah tidak menempuh pendidikan formal, namun pendidikan agama dan tata krama diajarkan langsung oleh kedua orang tuanya. Lingkungan inilah yang membentuk pribadi Ngasirah sebagai sosok perempuan yang religius dan sederhana.

Pada tahun 1872, Ngasirah dinikahi oleh R.M. Sosroningrat, seorang wedana di Mayong yang kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara tak lama setelah kelahiran Kartini pada 21 April 1879.

Dari pernikahan tersebut, Ngasirah dikaruniai delapan anak: RM Slamet, RM Boesono, RM Kartono, RA Kartini, RA Kardinah, RM Moeljono, RA Soematri, dan RM Rawito.

Namun kehidupan Ngasirah berubah setelah peraturan kolonial Hindia Belanda yang berlaku saat itu mewajibkan seorang bupati untuk beristrikan bangsawan berdarah biru. Karena Ngasirah bukan berasal dari kalangan bangsawan tinggi, Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Adjeng Woejan, keturunan langsung dari Raja Madura.

Hal ini membuat status Ngasirah otomatis berubah menjadi selir. Pengamat sejarah Edy Tegoeh Joelijanto mengatakan bahwa:

"Ngasirah, ibu kandung Kartini, bukan keturunan darah biru. Karena aturan kolonial, Sosroningrat menikah dengan Raden Adjeng Woejan keturunan dari Raja Madura. Otomatis, status Ngasirah turun menjadi selir walaupun sudah melahirkan delapan anak," ungkapnya kepada Kompas.com.

Baca Juga: Maria Ulfah, Sosok di Balik Perjuangan Hak Perempuan Indonesia

Sebagai selir, Ngasirah tidak memiliki hak tinggal di rumah utama pendapa kabupaten. Ia menempati bagian belakang pendapa dan tidak bisa dipanggil "ibu" oleh anak-anaknya sendiri.

Justru, Ngasirah dipanggil dengan sebutan "Yu", panggilan untuk perempuan abdi dalem. Sementara anak-anaknya—termasuk Kartini—diwajibkan memanggil ibunya sendiri dengan sebutan "ndoro" atau majikan.

Namun Kartini berbeda. Ia menolak perlakuan tidak adil terhadap ibunya dan menunjukkan perlawanan terhadap sistem sosial yang menindas perempuan.

Kartini kerap tinggal bersama Ngasirah, alih-alih tinggal di rumah utama bersama istri utama sang ayah. Ia juga memberikan syarat sebelum menikah, yaitu agar sang ibu kandungnya diizinkan masuk pendopo layaknya anggota keluarga.

"Memori-memori kelam itulah yang mendorong Kartini menolak segala ketidakadilan saat itu, terutama yang bersinggungan dengan perempuan Jawa. Bahkan, berbagai literatur menyebut Kartini tidak malu mengakui jika ibunya itu adalah keturunan rakyat biasa," ujar Tegoeh.

Meskipun tak pernah mendapatkan pendidikan formal, Ngasirah menjadi sosok kunci yang menanamkan nilai-nilai keberanian, kemandirian, dan cinta kasih pada Kartini.

Sosok ibu sederhana ini, melalui kehidupannya yang penuh keterbatasan, justru menjadi inspirasi besar dalam perjuangan Kartini melawan diskriminasi terhadap perempuan dan memperjuangkan kesetaraan.

Dari keterangan di atas, tidak dapat dimungkiri bahwa peran seorang ibu sangat penting dalam membentuk pemikiran dan kepribadian anak di masa depan, bahkan meski berstatus rakyat biasa atau kasta yang rendah di zaman dulu.

Kini di era yang modern dan serba digital, tidak ada lagi kasta yang membatasi perempuan untuk berdaya. Kawan Puan hanya butuh keberanian dan kemauan untuk menjadi berdaya!

Baca Juga: Mengenal Sosok Titiek Puspa, Penyanyi Perempuan Legendaris yang Baru Tutup Usia

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya