Ketika negara mulai menetapkan kebijakan berdasarkan jumlah anak yang dimiliki seseorang, maka batas antara dukungan dan pengaturan hidup pribadi menjadi kabur.
Memberikan penghargaan atau keuntungan finansial hanya kepada mereka yang memilih untuk menikah dan memiliki anak bukan hanya diskriminatif, tapi juga mengabaikan banyak realitas kehidupan masyarakat modern—termasuk pilihan untuk tetap single, menjadi orang tua tunggal, atau tidak punya anak sama sekali.
Lebih jauh, beberapa kebijakan yang diusulkan tampaknya hendak mengembalikan perempuan ke peran tradisional: menikah, hamil, dan mengurus anak. Misalnya, program edukasi tentang siklus menstruasi yang ditujukan agar perempuan “lebih tahu kapan masa subur” terasa bukan untuk edukasi kesehatan, tapi untuk memastikan mereka lebih siap bereproduksi.
Pendekatan ini tidak hanya menyederhanakan isu kesehatan reproduksi, tapi juga mengobjektifikasi tubuh perempuan sebagai alat produksi keturunan.
Punya Anak Bukan Solusi Ekonomi
Salah satu argumen yang dipakai oleh para pengusung kebijakan pronatalis ini adalah soal penurunan angka kelahiran yang dianggap mengancam masa depan ekonomi Amerika. Mereka khawatir bahwa angkatan kerja akan menyusut dan beban sosial semakin berat. Tapi menjadikan perempuan sebagai "penyelamat ekonomi" dengan mendorong mereka untuk melahirkan lebih banyak anak bukanlah jawaban yang adil atau realistis.
Jika memang kekhawatiran utama adalah masa depan ekonomi dan kesejahteraan sosial, maka kebijakan yang perlu difokuskan adalah mendukung keseimbangan kerja dan keluarga, memberikan jaminan kesehatan yang layak, dan menciptakan sistem pendidikan serta penitipan anak yang terjangkau. Bukan malah mengintervensi pilihan hidup dan rahim perempuan.
Pilihan Reproduksi Harus Bebas Tekanan
Perempuan punya hak penuh atas tubuhnya, termasuk dalam memutuskan apakah ia ingin punya anak, kapan waktunya, dan berapa jumlahnya. Keputusan tersebut harus lahir dari keinginan pribadi dan situasi yang mendukung, bukan karena tekanan sosial, politik, atau insentif ekonomi yang bersifat manipulatif.
Mendorong lebih banyak kelahiran bukan solusi jangka panjang jika tak dibarengi dengan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak. Alih-alih mendorong perempuan untuk hamil, negara semestinya menciptakan lingkungan yang memungkinkan semua pilihan kehidupan—menikah, tidak menikah, punya anak, atau tidak—dihormati dan didukung setara.
Baca Juga: Fenomena Barbie Syndrome di Amerika: Ketika Penampilan Jadi Beban Sosial
(*)