Parapuan.co - Dalam beberapa pekan terakhir, Gedung Putih dilaporkan tengah mendengarkan berbagai usulan dari kalangan konservatif untuk mendorong warga Amerika agar menikah dan punya lebih banyak anak. Usulan-usulan ini, mulai dari bonus kelahiran sebesar USD 5.000 hingga pembatasan beasiswa Fulbright hanya untuk yang sudah menikah atau punya anak.
Hal ini mencerminkan arah baru pemerintahan Donald Trump yang tampaknya akan mengadopsi agenda pronatalis secara terang-terangan. Dalam pidatonya di Conservative Political Action Conference (CPAC) tahun 2023, Donald Trump mengeluarkan pernyataan yang kemudian menjadi slogan di kalangan pendukung gerakan ini.
"Kami akan mendukung ledakan kelahiran dan kami akan mendukung bonus bayi untuk ledakan kelahiran baru. Saya ingin ledakan kelahiran!" katanya seperti melansir New York Times.
Trump secara terang-terangan menyatakan bahwa negara perlu kembali menumbuhkan semangat berkeluarga dan memberi insentif finansial bagi mereka yang memilih untuk memiliki anak.
Baru-baru ini, New York Times juga melaporkan Wakil Presiden AS JD Vance, mendukung ide agar masyarakat Amerika mau menikah dan punya banyak anak. "Saya ingin lebih banyak bayi di Amerika," ujarnya.
Dalam pidato pada acara March for Life, sebuah aksi anti-aborsi besar yang rutin diadakan, ia bahkan sempat meneriakkan,"Izinkan saya katakan dengan sangat sederhana: Saya ingin lebih banyak bayi di Amerika Serikat."
Vance juga menekankan bahwa tujuan utamanya bukan hanya menambah jumlah kelahiran, tetapi juga membentuk lebih banyak keluarga yang stabil dan utuh.
"Tujuan akhir kami bukan hanya lebih banyak bayi, tetapi lebih banyak keluarga yang terbentuk," katanya lagi.
Namun, di balik semua insentif dan retorika manis soal “menyelamatkan masa depan Amerika,” ada satu hal yang perlu diingat: keputusan untuk punya anak—atau tidak—bukan urusan negara. Itu hak setiap pasangan, terlebih lagi hak perempuan.
Politik Rahim dan Peran Negara yang Terlalu Jauh
Baca Juga: Apa yang Terjadi Jika Kamala Harris Jadi Presiden Perempuan Pertama Amerika?
Ketika negara mulai menetapkan kebijakan berdasarkan jumlah anak yang dimiliki seseorang, maka batas antara dukungan dan pengaturan hidup pribadi menjadi kabur.
Memberikan penghargaan atau keuntungan finansial hanya kepada mereka yang memilih untuk menikah dan memiliki anak bukan hanya diskriminatif, tapi juga mengabaikan banyak realitas kehidupan masyarakat modern—termasuk pilihan untuk tetap single, menjadi orang tua tunggal, atau tidak punya anak sama sekali.
Lebih jauh, beberapa kebijakan yang diusulkan tampaknya hendak mengembalikan perempuan ke peran tradisional: menikah, hamil, dan mengurus anak. Misalnya, program edukasi tentang siklus menstruasi yang ditujukan agar perempuan “lebih tahu kapan masa subur” terasa bukan untuk edukasi kesehatan, tapi untuk memastikan mereka lebih siap bereproduksi.
Pendekatan ini tidak hanya menyederhanakan isu kesehatan reproduksi, tapi juga mengobjektifikasi tubuh perempuan sebagai alat produksi keturunan.
Punya Anak Bukan Solusi Ekonomi
Salah satu argumen yang dipakai oleh para pengusung kebijakan pronatalis ini adalah soal penurunan angka kelahiran yang dianggap mengancam masa depan ekonomi Amerika. Mereka khawatir bahwa angkatan kerja akan menyusut dan beban sosial semakin berat. Tapi menjadikan perempuan sebagai "penyelamat ekonomi" dengan mendorong mereka untuk melahirkan lebih banyak anak bukanlah jawaban yang adil atau realistis.
Jika memang kekhawatiran utama adalah masa depan ekonomi dan kesejahteraan sosial, maka kebijakan yang perlu difokuskan adalah mendukung keseimbangan kerja dan keluarga, memberikan jaminan kesehatan yang layak, dan menciptakan sistem pendidikan serta penitipan anak yang terjangkau. Bukan malah mengintervensi pilihan hidup dan rahim perempuan.
Pilihan Reproduksi Harus Bebas Tekanan
Perempuan punya hak penuh atas tubuhnya, termasuk dalam memutuskan apakah ia ingin punya anak, kapan waktunya, dan berapa jumlahnya. Keputusan tersebut harus lahir dari keinginan pribadi dan situasi yang mendukung, bukan karena tekanan sosial, politik, atau insentif ekonomi yang bersifat manipulatif.
Mendorong lebih banyak kelahiran bukan solusi jangka panjang jika tak dibarengi dengan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak. Alih-alih mendorong perempuan untuk hamil, negara semestinya menciptakan lingkungan yang memungkinkan semua pilihan kehidupan—menikah, tidak menikah, punya anak, atau tidak—dihormati dan didukung setara.
Baca Juga: Fenomena Barbie Syndrome di Amerika: Ketika Penampilan Jadi Beban Sosial
(*)