Parapuan.co - Dalam rangka peringatan Hari Bumi 2025, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kembali menegaskan bahwa krisis iklim dan kerusakan lingkungan bukan hanya ancaman global, tetapi juga krisis kemanusiaan yang berdampak nyata pada kehidupan perempuan.
Komnas Perempuan melalui siaran pers di situs resminya menyerukan agar kebijakan pembangunan diarahkan pada penyelamatan lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Sundari Amir, menyampaikan bahwa eksploitasi sumber daya alam—seperti tambang, hutan, dan tanah—telah berdampak langsung pada perempuan, terutama mereka yang hidup sebagai petani, nelayan, dan perempuan adat.
Akses mereka terhadap sumber kehidupan seperti air bersih, tanah, dan pangan kian terbatas, menambah beban hidup serta merusak ketahanan komunitas.
"Bencana alam dan krisis iklim akibat perusakan alam berdampak langsung pada perempuan yang berada di garda terdepan, namun kerap diabaikan dalam pengambilan keputusan," ungkap Sundari. Ia menyoroti pula bahwa konflik agraria, deforestasi, dan pencemaran telah memperparah kondisi perempuan yang berada di wilayah terdampak.
Komisioner Dahlia Madanih menambahkan bahwa dalam lima tahun terakhir, Komnas Perempuan telah menerima sedikitnya 58 pengaduan langsung terkait konflik sumber daya alam, agraria, dan tata ruang. Banyak di antaranya menyangkut kriminalisasi perempuan pembela lingkungan yang suaranya dibungkam demi proyek-proyek ekstraktif yang tidak berkeadilan.
"Perempuan sering mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi, bahkan seksual sebagai dampak dari proyek pembangunan yang merampas ruang hidup mereka. Ini kekerasan berlapis yang tak kunjung ditangani dengan serius," tegas Dahlia.
Komisioner Irwan Setiawan mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi. Kebijakan harus berpijak pada prinsip keadilan ekologis dan melindungi keseimbangan kehidupan alam dan manusia.
"Negara harus tegas menindak pelaku eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan hak asasi manusia. Kekayaan alam semestinya untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir pihak," ujar Dahlia.
Baca Juga: Investasi untuk Lingkungan, Brand Lokal Ini Ajak Pengguna Tanam Bibit Mangrove
Perempuan, menurut Komnas Perempuan, bukan hanya kelompok yang rentan, tapi juga aktor penting perubahan. Komisioner Chatarina Pancer Istiyani menekankan peran perempuan sebagai penjaga pengetahuan lokal, agen ketahanan komunitas, dan pelaku inovasi dalam pengelolaan alam.
"Pemberdayaan perempuan dalam adaptasi perubahan iklim, termasuk melalui akses informasi, pendidikan, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan, harus menjadi prioritas nasional," katanya.
Komnas Perempuan juga menyoroti mandat konstitusi dan komitmen internasional seperti Persetujuan Paris yang mengakui pentingnya partisipasi perempuan dalam kebijakan dan aksi iklim.
Dengan menjamin keterlibatan perempuan secara bermakna, upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim dapat menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan. Untuk itu, Komnas Perempuan menyerukan:
1. Penerapan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan gender dalam seluruh kebijakan pembangunan dan lingkungan.
2. Partisipasi perempuan secara setara dalam perencanaan dan pelaksanaan aksi iklim.
3. Penghentian kriminalisasi terhadap perempuan pembela lingkungan dan jaminan perlindungan hukum.
4. Tanggung jawab dunia usaha terhadap dampak sosial dan ekologis kegiatan mereka.
5. Penguatan kapasitas perempuan melalui akses terhadap teknologi ramah lingkungan, pendidikan, dan pendanaan yang adil.
Komnas Perempuan percaya, bumi yang pulih hanya dapat tercipta jika perempuan hidup tanpa kekerasan dan dilibatkan secara adil dalam seluruh proses pembangunan.
Baca Juga: Benarkah Perempuan Lebih Melek Soal Lingkungan? Simak Penjelasannya
(*)