Mendorong Budaya Kerja Inklusif Lewat Ketentuan Paternity dan Maternity Leave

Arintha Widya - Kamis, 24 April 2025
Budaya kerja inklusif lewat cuti ayah dan ibu saat momen kelahiran anak.
Budaya kerja inklusif lewat cuti ayah dan ibu saat momen kelahiran anak. Freepik

Paternity leave menjadi salah satu cara agar sang Ayah juga dapat berkontribusi dalam mengasuh anak serta memberikan kesempatan bagi sang Ayah untuk mendapatkan quality time dan hubungan yang erat dengan anak.

Untuk mewujudkan keterlibatan laki-laki dalam pengasuhan melalui kebijakan paternity leave yang efektif, perusahaan dapat mempertimbangkan langkah-langkah seperti:

1. Rancang Kebijakan yang Jelas dan Inklusif

Tentukan durasi cuti yang sesuai, misalnya 2-8 minggu, dan pastikan kebijakan ini tertulis dalam buku pedoman pegawai, termasuk prosedur pengajuan, syarat kelayakan, dan apakah cuti ini dibayar atau tidak.

2. Sosialisasikan dan Dorong Penggunaan Paternity Leave

Pastikan manajemen dan tim HR aktif menginformasikan kebijakan ini kepada seluruh pegawai. Dorong para Ayah untuk memanfaatkan hak ini tanpa rasa takut akan stigma atau dampak negatif terhadap karir mereka.

3. Dukungan Selama dan Setelah Cuti

Siapkan rencana kerja selama pegawai menjalani cuti dan fasilitasi proses reintegrasi mereka ke lingkungan kerja setelah cuti berakhir. Komunikasi yang baik antara pegawai, atasan, dan HR sangat penting dalam tahap ini.

4. Evaluasi dan Perbaikan Kebijakan Cuti Secara Berkala

Baca Juga: Pekerja Perempuan yang Cuti Hamil-Melahirkan saat Puasa Tetap Dapat THR

Lakukan evaluasi terhadap kebijakan paternity leave secara berkala, misalnya setiap tahun, untuk menilai efektivitasnya dan melakukan penyesuaian yang diperlukan berdasarkan umpan balik dari pegawai.

Berdasarkan data dari riset Populix di tahun 2024, disebutkan juga bahwa sebesar 56 persen perusahaan di Indonesia memberikan cuti melahirkan selama 3 bulan yang menandakan sejumlah perusahaan telah mengambil langkah progresif sebagai bentuk dukungan nyata terhadap perempuan dan agar sang Ibu lebih bisa mendapatkan waktu bersama di 1000 hari pertama dari sang anak dilahirkan.

Dengan menawarkan jenis cuti khusus seperti paternity dan maternity leave, perusahaan sedang membangun reputasi sebagai institusi yang berorientasi masa depan—bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga nilai.

Ditambah lagi, langkah ini juga dapat menjadi bentuk keberlanjutan dari semangat emansipasi karena mendukung terciptanya ruang bagi perempuan untuk pulih sepenuhnya agar bisa tetap berkarya.

Dengan semangat Hari Kartini, inilah saat yang tepat bagi perusahaan untuk mengaji ulang, sudahkah mereka memberi ruang bagi para Ayah untuk hadir bersama sang Ibu pasca melahirkan?

(*)

Penulis:
Editor: Arintha Widya