Parapuan.co - Setiap tahunnya, perjalanan perempuan Indonesia meraih kesetaraan dan merasa lebih berdaya dicerminkan dari perayaan semangat di Hari Kartini Era modern memberikan arti dan cara baru terkait pembicaraan emansipasi yang bukan hanya soal membuka akses, tetapi juga tentang bagaimana sistem, termasuk dunia kerja, memberikan dukungan nyata bagi perempuan menjalankan peran-peran penting lainnya. Yang paling krusial, yaitu menjadi seorang Ibu.
Dalam pers rilis yang diterima PARAPUAN dari Jobstreet, misalnya, kebijakan paternity leave, atau cuti bagi ayah setelah kelahiran anak yang masih kurang menjadi prioritas, padahal, masa-masa awal pasca persalinan adalah periode paling menantang, baik secara fisik maupun emosional bagi seorang Ibu.
Terlebih lagi, merawat seorang anak bukanlah tanggung jawab yang dilakukan oleh Ibu saja, namun menjadi tanggung jawab bersama antara Ibu dan Ayah.
Berdasarkan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak No. 4 Tahun 2024 Pasal 6 Ayat 2, mengatur bahwa pekerja pria atau suami berhak mendapatkan cuti pendampingan istri pada masa persalinan selama 2 (dua) hari dan dapat diberikan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan.
Mulai Jadi Tren di Tahun 2024, Namun Belum Prioritas
Berdasarkan data dari laporan terbaru Jobstreet by SEEK berjudul "Rekrutmen, Kompensasi, danTunjangan 2025" yang akan diluncurkan di akhir bulan April ini, ditemukan bahwa paternity leave merupakan jenis cuti khusus yang kerap menjadi tren sepanjang tahun 2024.
Laporan yang didasarkan pada survei terhadap 1.273 praktisi rekrutmen dan SDM di Indonesia ini menemukan bahwa 43 persen perusahaan telah memberikan paternity leave sebagai opsi cuti khusus kepada pegawai laki-laki yang membutuhkan.
Namun di sisi lain, jumlah yang sama menyatakan bahwa tidak memberikan dan bahkan tidak akan mengadakan jenis cuti ini bahkan sebagai opsi kedepannya. Sedangkan, sebanyak 14 persen perusahaan telah memberikan paternity leave sebagai opsi cuti khusus baru atau akan memberikan dalam waktu 12 bulan ke-depan.
Rekomendasi bagi Perusahaan untuk Terapkan Budaya Kerja Inklusif
Baca Juga: Hak Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan, Surat Dokter Tidak Diperlukan
Paternity leave menjadi salah satu cara agar sang Ayah juga dapat berkontribusi dalam mengasuh anak serta memberikan kesempatan bagi sang Ayah untuk mendapatkan quality time dan hubungan yang erat dengan anak.
Untuk mewujudkan keterlibatan laki-laki dalam pengasuhan melalui kebijakan paternity leave yang efektif, perusahaan dapat mempertimbangkan langkah-langkah seperti:
1. Rancang Kebijakan yang Jelas dan Inklusif
Tentukan durasi cuti yang sesuai, misalnya 2-8 minggu, dan pastikan kebijakan ini tertulis dalam buku pedoman pegawai, termasuk prosedur pengajuan, syarat kelayakan, dan apakah cuti ini dibayar atau tidak.
2. Sosialisasikan dan Dorong Penggunaan Paternity Leave
Pastikan manajemen dan tim HR aktif menginformasikan kebijakan ini kepada seluruh pegawai. Dorong para Ayah untuk memanfaatkan hak ini tanpa rasa takut akan stigma atau dampak negatif terhadap karir mereka.
3. Dukungan Selama dan Setelah Cuti
Siapkan rencana kerja selama pegawai menjalani cuti dan fasilitasi proses reintegrasi mereka ke lingkungan kerja setelah cuti berakhir. Komunikasi yang baik antara pegawai, atasan, dan HR sangat penting dalam tahap ini.
4. Evaluasi dan Perbaikan Kebijakan Cuti Secara Berkala
Baca Juga: Pekerja Perempuan yang Cuti Hamil-Melahirkan saat Puasa Tetap Dapat THR
Lakukan evaluasi terhadap kebijakan paternity leave secara berkala, misalnya setiap tahun, untuk menilai efektivitasnya dan melakukan penyesuaian yang diperlukan berdasarkan umpan balik dari pegawai.
Berdasarkan data dari riset Populix di tahun 2024, disebutkan juga bahwa sebesar 56 persen perusahaan di Indonesia memberikan cuti melahirkan selama 3 bulan yang menandakan sejumlah perusahaan telah mengambil langkah progresif sebagai bentuk dukungan nyata terhadap perempuan dan agar sang Ibu lebih bisa mendapatkan waktu bersama di 1000 hari pertama dari sang anak dilahirkan.
Dengan menawarkan jenis cuti khusus seperti paternity dan maternity leave, perusahaan sedang membangun reputasi sebagai institusi yang berorientasi masa depan—bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga nilai.
Ditambah lagi, langkah ini juga dapat menjadi bentuk keberlanjutan dari semangat emansipasi karena mendukung terciptanya ruang bagi perempuan untuk pulih sepenuhnya agar bisa tetap berkarya.
Dengan semangat Hari Kartini, inilah saat yang tepat bagi perusahaan untuk mengaji ulang, sudahkah mereka memberi ruang bagi para Ayah untuk hadir bersama sang Ibu pasca melahirkan?
(*)