KemenPPPA Tegaskan Pesantren Harus Bebas dari Segala Tindak Kekerasan

Saras Bening Sumunar - Selasa, 29 April 2025
KemenPPPA tegaskan ponpes harus bebas dari segala tindak kekerasan.
KemenPPPA tegaskan ponpes harus bebas dari segala tindak kekerasan. coldsnowstorm

Parapuan.co - Kasus kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, baik di lingkungan keluarga, kerja, bahkan instansi pendidikan. Baru-baru ini, muncul kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Pelaku yang berinisial AF melancarkan aksi kejinya dengan mencabuli puluhan santriwati dengan dalih 'mensucikan rahim'. Mengejutkannya lagi, aksi kekerasan seksual ini sudah berlangsung sejak tahun 2016 hingga 2023.

Perwakilan Koalisi Stop Anti Kekerasan Seksual NTB, Joko Jumadi mengungkap bahwa korban kini sudah menjadi alumni. Menurut Joko dikutip dari laman Tribunnews bahwa "Korban (saat ini) sudah menjadi alumni." 

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum pimpinan pondok pesantren ini terkuak setelah para korbannya menonton series Bidaah. Joko menambahkan "Karena film Walid ini mereka berani untuk speak up."

Dalam series Bidaah, terdapat tokoh fiktif bernama Walid. Karakter ini digambarkan sebagai sosok pemimpin kelompok sekte sesat dengan mengaku sebagai Imam Mahdi, pemimpin umat muslim jelang kiamat. Selain itu, Walid juga memperdaya dan menyetubuhi para pengikutnya dengan dalih agama.

Karakter Walid dan alur cerita serial drama tersebut memiliki banyak kesamaan dengan pengalaman yang dialami para santriwati saat menimba ilmu di ponpes di Lombok Barat yang dipimpin oleh AF. Dari situ, para santriwati melaporkan aksi bejat AF ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Mataram.

Sementara itu, Polresta Mataram telah menetapkan AF sebagai tersangka kasus kekerasan seksual pada santriwati. Kasat Reskrim Mataram, AKP Regi Halili mengatakan penetapan tersangka dilakukan setelah sejumlah saksi diperiksa dan hasil visum korban keluar. 

"Kita sudah tingkatkan ke penyidikan dan menetapkan tersangka dengan kasus persetubuhan," ujar AKP Regi Halili dikutip dari laman Tribunnews. Kini, pihak ponpes telah memberhentikan AF sebagai pimpinan yayasan.

"Berita baiknya ponpes cukup kooperatif, setelah mendapatkan informasi ponpes memberhentikan yang bersangkutan sebagai ketua yayasan," ujar Joko.

Baca Juga: Kronologi Pimpinan Ponpes di Lombok Cabuli Santriwati, Bak Walid di Dunia Nyata

KemenPPPA Tegaskan Pesantren Harus Bebas dari Kekerasan Fisik dan Seksual

Di tengah konflik kekerasan seksual di ponpes yang semakin memanas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menekankan pentingnya peran pesantren dalam membangun peradaban yang inklusif, ilmiah, dan spiritual, serta mengintegrasikan nilai-nilai kesetaraan gender dalam pendidikan.

"Pesantren memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk karakter, akhlak, dan keilmuan para santri, ini kelak akan menjadi penerus perjuangan umat dan bangsa. Membangun peradaban yang inklusif bukanlah tugas mudah, melainkan membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak," ujar Arifah Fauzi.

"Sebagai pusat peradaban, pesantren memegang tanggung jawab besar, tidak hanya dalam mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keadilan sosial, penghormatan terhadap hak asasi manusia, perlindungan anak, serta pemberdayaan perempuan dalam setiap aspek pendidikan," tegasnya.

Menteri PPPA juga menekankan lingkungan pesantren harus bebas dari segala bentuk kekerasan dan menjadi tempat penuh kasih sayang serta aman bagi tumbuh kembang para santri. Pendidikan berbasis penghormatan terhadap hak-hak anak akan melahirkan generasi yang kuat secara mental, moral, dan spiritual.

Lebih lanjut, Menteri PPPA mendorong keterlibatan aktif santri perempuan dalam proses pembangunan pesantren yang ramah anak dan bebas kekerasan.

Ia menegaskan bahwa santri perempuan atau santriwati tidak boleh hanya menjadi objek pembangunan, melainkan harus menjadi subjek perubahan yang berkontribusi nyata dalam mewujudkan lingkungan pendidikan inklusif.

"Santri perempuan diharapkan dapat menjadi agen Pelopor dan Pelapor dalam pemenuhan hak anak dan kesetaraan gender," tandasnya.

"Sebagai pelopor, mereka diharapkan mampu memimpin perubahan positif di lingkungan sekitarnya. Sementara sebagai pelapor, mereka dapat menyuarakan segala bentuk hambatan dan ketidakadilan yang mereka alami atau saksikan," pungkasnya.

Baca Juga: Santriwati Dipaksa Menikah dengan Pengurus Ponpes, Apa Itu Pemaksaan Perkawinan?

(*)