Rohana Kudus: Pendiri Media Perempuan Pertama Indonesia yang Jadi Pahlawan Nasional!

Firdhayanti - Rabu, 17 Februari 2021
Jurnalis perempuan Indonesia ditetapkan sebagai pahlawan nasional
Jurnalis perempuan Indonesia ditetapkan sebagai pahlawan nasional tribunnews.com

Parapuan.co - Nama Rohana Kudus memang belum diketahui oleh banyak orang. 

Menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia, Rohana Kudus juga peduli terhadap nasib perempuan saat jaman Hindia Belanda.

Berbagai pergerakan ia lakukan agar perempuan dapat menjadi manusia yang cerdas, seperti mendirikan Soenting Melajoe, media perempuan pertama di Indonesia. 

Perjuangan Rohana enggak mudah karena ia harus melawan konstruksi budaya pada perempuan dalam masyarakat Minangkabau yang mengharuskan perempuan dipingik, tidak boleh sekolah dan tidak boleh menyaingi kepandaian laki-laki.

Tidak mengherankan kalau perempuan akhirnya hanya menjadi urang rumah, yakni orang yang selalu tinggal dirumah dan hanya boleh mengurus urusan rumah tangga saja. 

Atas perjuangan Rohana, ia pun ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 8 November 2019.

Hal ini merupakan kabar baik bagi Sumatra Barat yang sebelumnya sudah mengusulkan nama Rohana Kudus sebagai pahawan nasional sejak November 2018 lalu. 

Baca Juga: Mengenal Komunitas Ibu Punya Mimpi, Wadah Perempuan Pengusaha

Membaca untuk Perjuangan

Rohana Kudus lahir pada 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Kabupaten Agam.  Lahir dengan nama Sitti Rohana, anak sulung dari 26 bersaudara memiliki ayah bernama Moehammad Rasjad Maharadja Sutan dan ibu Kiam. 

Tinggal di keluarga moderat, Rohana kecil sudah memiliki kegemaran membaca. Ayahnya membelikan berbagai buku, majalah, maupun surat kabar. 

Meski tak mengenyam bangku pendidikan formal, di usia lima tahun Rohana sudah mengenal abjad Latin, Arab, dan Arab Melayu berkat didikan ayahnya. 

Beberapa lama kemudian, ayah Rohana pindah tugas ke Alahan Panjang saat Rohana berusia 6 tahun. Di sana, ia bertetangga dengan Jaksa Alahan Panjang Lebi Jaro Nan Sutan dan Adiesa, istrinya. 

Pasangan ini tak memiliki anak, oleh karena itu mereka menganggap Rohana sebagai anak sendiri.

Adiesa sering mengajak Rohana untuk main di rumahnya. Di sana, Rohana tak hanya bermain, namun Adiesa mengajarinya baca-tulis dan juga menganyam, dimana saat itu keahlian ini hanya dimiliki oleh perempuan keturunan Belanda. 

Dua tahun kemudian, ayah Rohana kembali ditugaskan ke Simpang Tonang Alu. Sang ayah pun makin sering memberikannya buku. Selama membaca buku, Rohana memiliki kebiasaan khusus. Ia gemar membaca buku tersebut dengan lantang di teras rumah.

Awalnya, orang-orang disekitar tempat tinggalnya menganggap aneh kebiasaan Rohana. Namun, orang pun jadi tertarik mendengarkan Rohana. Apalagi ketika Rohana membaca buku dengan berbagai bahasa asing. 

Menyuarakan Nasib Perempuan dengan Lantang 

Orang di lingkungannya menjadi antusias terhadap apa yang dibacakan Rohana.  Mereka pun tertarik dan datang ke teras rumah Rohana untuk belajar membaca dan menulis.

Semakin hari, semakin banyak yang datang hingga akhirnya Rohana mendirikan sekolah di teras rumahnya, terutama ibu-ibu dan anak-anak. 

Sesekali, sang ayah membantunya membelikan keperluan untuk sekolahnya. Bahkan, sang ayah kerap kali membantu Rohana mengajar hingga berbagi tugas.

Baca Juga: Perjalanan 30 Tahun Jurnalis Senior Desi Anwar di Media Tanah Air

Sementara ayahnya mengajarkan Budi Pekerti dan Agama, Rohana mengajarkan baca tulis. Bahkan, ketika antusiasme sudah semakin naik, Rohana pun menambahkan pelajaran seperti menyulam, menganyam, Al-Quran, dan memasak. 

Hingga akhirnya, Rohana menikah dengan notaris publik bernama Abdoel Koeddoes. Sejak saat inilah Rohana dikenal dengan nama Rohana Kudus.

Ia pun pindah ke Kotagadang dan akhirnya mendirikan perkumpulan pengrajin yang tak hanya mengajarkan keterampilan, tetapi juga mengajarkan berhitung, menulis, membaca, agama, dan lainnya. Perkumpulan ini kemudian menjadi Kerajinan Amai Setia. 

Sembari mengajar, Rohana kerap kali menulis. Suatu hari, Rohana beberapa kali terlibat menjadi kontributor pada koran Poetri Hindia. Namun, kemudian tutup karena tersangkutnya Tirto dengan delik Pers Hindia Belanda. 

Rohana pun menyurati pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, Datuk Sutan Maharadja. Dalam surat itu, Rohana menginginkan perempuan memiliki media.

Maharadja yang mengetahui hal itu lantas membuat kesepakatan dan Rohana dengan membuat surat kabar Soenting Melajoe

Dalam Soenting Melajoe, Rohana menyuarakan realita tentang bagaimana ketidakadilan perempuan. Nama Rohana pun semakin dikenal. Ia dikenal sebagai perempuan yang pandai mengajar muridnya dan lantang dalam menyuarakan masalah-masalah perempuan. 

Perjalanan Rohana di surat kabar ini membuka hal baru untuk dunia pers saat itu. Selain mengisi kekosongan posisi perempuan dalam jurnalisme, ia juga dapat membuktikan bahwa perempuan sanggup menjamah dunia pers, yang kala itu didominasi laki-laki. 

Atas jasa dan perjuangannya, Rohana Kudus dianugerahi penghargaan oleh pemerintah Sumatera Barat pada 17 Agustus 1974. Penghargaan ini baru diterima Rohana dua tahun setelah Rohana meninggal pada 17 Agustus 1972.  

(*)

Baca Juga: Jadi Tulang Punggung Keluarga, Jessica Mila Tetap Utamakan Pendidikan

Sumber: Historia.id
Penulis:
Editor: Kinanti Nuke Mahardini