Hak istimewa kulit putih dapat menimbulkan reaksi negatif di masyarakat. Lebih buruk, dapat menimbulkan kemarahan.
Konsep ini telah disebut sebagai white fragility yang diciptakan oleh Robin Diangelo, dan reaksinya berkisar dari rasa malu, bersalah, takut, menghindar, defensif, dan ketidaknyamanan hingga reaksi ekstrim seperti mempermalukan, agresi terselubung, intolerabilitas, dan lainnya.
Sayangnya, hingga kini, hak istimewa kulit putih ini masih ada dalam masyarakat dunia. Kamu dapat menjumpainya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, ketika kamu berkulit sawo matang dan ingin membeli foundation. Namun ternyata kamu tidak menemukan shade yang cocok dan kebanyakan shade foundation tersebut hanya untuk yang memiliki kulit putih.
Contoh lainnya, kita dapat lihat di dunia hiburan bahwa yang disebut cantik ialah perempuan yang berkulit putih.
Masih banyak contoh-contoh dari hak istimewa kulit putih lainnya. Intinya, hak-hak ini hanya menguntungkan kulit putih dan merugikan masyarakat yang lain.
Baca Juga: Penting! Ini 5 Kegiatan di Rumah untuk Melatih Anak Tanggung Jawab
Sejak Jaman Kolonial
Di Indonesia ternyata juga terdapat hak istimewa kulit putih. Hak istimewa kulit putih tersebut ternyata berakar dari zaman Belanda dulu, lho Kawan Puan.
Dikutip dari Kompas.com, Drs. Irwan Maratua Hidayana, M.A., Associate Professor Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), mengatakan bahwa Belanda membuat stratifikasi sosial dalam masyarakat.
“Rasisme tidak lepas dari warisan kolonial. Bagaimana dulu Belanda (Eropa) membuat stratifikasi sosial pada masyarakat jajahannya,” ungkapnya pada Kamis (4/6/2020).