Parapuan.co - Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat dan ternyata pandemi Covid-19 masih melanda Indonesia.
Merebaknya virus ini tentu memengaruhi berbagai bidang, salah satunya bidang pendidikan.
Berdasarkan data dari Save the Children Indonesia, ada lebih dari 600 ribu sekolah di Indonesia tutup dan menyebabkan sekitar 60 juta anak harus menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah.
Baca Juga: PJJ Tak Berjalan Mulus, Solusinya yakni Hybrid Learning, Apa Itu?
CEO Save the Children Indonesia, Selina Patta Sumbung menjelaskan bahwa Studi Global Save The Children Juli 2020 di 46 Negara khususnya Indonesia, mengindikasikan terdapat 8 dari 10 anak tidak dapat mengakses bahan pembelajaran yang memadai.
Selain itu 4 dari 10 anak kesulitan memahami pekerjaan rumah, dan fakta bahwa minimal 1% anak tidak belajar apapun selama PJJ.
Mengatasi tantangan tersebut, perlu adanya pembelajaran dengan sistem hybrid learning yakni pengkombinasian antara pembelajaran daring dan tatap muka.
Ternyata beberapa sekolah pun sudah menerapkan sistem pembelajaran yang juga disebut blended learning.
Salah satunya SMA Virgo Fidelis yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Menurut Maria Ariany (51) selaku guru, SMA Virgo Fidelis telah mengadaptasi hybrid learning sejak Agustus 2020.
Baca Juga: Pembelajaran Jarak Jauh Penuh Tantangan, Hybrid Learning Solusinya
“Bagi sekolah berasrama hybrid learning cukup membantu terutama dalam hal keuangan karena siswa datang ke asrama lebih banyak sehingga biaya operasional asrama cukup terbantu,” ucap Maria pada PARAPUAN.
Selain itu, ia menjelaskan bagi siswa-siswi berasrama, hal tersebut kurang menguntungkan karena mereka sebenarmya bisa tatap muka setiap hari, tapi sistem hybrid learning ini, mereka harus menyesuaikan diri dengan jadwal yg ada.
Sebelum dilaksanakan blended learning ini, Maria mengaku ada kendala jika semua pembelajaran dilakukan secara virtual.
Di antaranya ada beberapa siswa yang tinggal di daerah yang jaringan internetnya kurang baik, beberapa siswa yang tidak memiliki telepon genggam yang mendukung pembelajaran online, dan dana untuk pengadaan kuota internet yang minim.
Tak sampai di situ saja, ada pun masalah lainnya yakni adaptasi dari offline ke online cukup menyusahkan sebab pembelajaran online lebih melelahkan karena guru pun harus siap 24 jam untuk mendampingi siswa.
Baca Juga: Setahun PJJ, Tantangan Baru Kehilangan Pembelajaran hingga Dampak Penurunan Pendidikan Anak
Pasalnya kadang tengah malam, guru masih memandu peserta didik yang mengalami kesulitan mengirim tugas.
"Saya merasa seperti penagih hutang, melakukan segala cara seperti menelpon atau video call siswa atau pun orangtuanya untuk menagih tugas yg tertunda pengirimannya. Selain itu juga ngecek jika ada siswa yang tidak presensi PJJ,” imbuh Maria.
Guru yang sudah mengajar selama 19 tahun ini mengaku jika antusiasme murid ketika menjalani PJJ sangat baik.
Siswa-siswa baik asrama maupun non-asrama merasa sangat nyaman karena bisa menerima materi secara langsung.
Mereka pun memiliki kesempatan untuk melakukan tanya jawab dan diskusi jika ada materi yang kurang dipahami.
Baca Juga: Pentingnya Bercerita Pada Anak, Ini 3 Manfaat Hebat untuk Buah Hati
Selain itu pengumpulan tugas pun menjadi lebih teratur.
Sebagai informasi tambahan, sistem penerapan blended learning ini dilaksanakan berdasarkan nomor presensi ganjil dan genap para peserta didik.
“Tatap muka pun berjalan secara bergantian, siswa datang ke sekolah 3 kali dalam seminggu. Pembelajaran pun dilakukan pukul 08.00 WIB sampai dengan 11.30 WIB,” ujar Maria.
(*)