"Dalam keluarga, anak laki-laki diajarkan membetulkan genteng dan alat elektronik. Tapi, anak perempuan cuma diajarkan menyapu lantai. Ini yang membuat perempuan umumnya miskin keterampilan," kecam Kalis.
Tak hanya membatasi keterampilan perempuan secara signifikan, hal ini pun ironisnya memunculkan rasa ketidakpercayaan perempuan terhadap perempuan lain dalam hal tertentu.
Baca Juga: IBCWE: Investasi Pemenuhan Hak Perempuan Bisa Untungkan Perusahaan
"Banyak perempuan untuk naik ojek saja merasa lebih aman jika yang menyetir adalah laki-laki karena perempuan sendiri menganggap laki-laki lebih tepercaya (untuk menyetir kendaraan)," keluh Kalis.
Padahal, keterampilan sekadar mengendarai motor atau mobil serta memperbaiki atap yang tadi dia sebutkan hanyalah keterampilan biasa yang seharusnya bisa dilakukan oleh kedua gender.
Desa turut berperan
Selain keluarga inti yang harus membekali anak perempuan dan laki-lakinya dengan keterampilan yang seimbang, desa pun harus ikut ambil bagian.
Ini lantaran masih banyak warga desa yang meyakini bahwa perempuan hanya berkutat di rumah dan tidak berpenghasilan mandiri.
Kalis sendiri mengakui dirinya memang berasal dari desa sehingga sudah paham akan keyakinan keliru tersebut.
Menurutnya, desa harus dipimpin oleh perempuan supaya warga desa sadar bahwa perempuan bekerja di luar rumah adalah hal baik, apalagi sebagai pemimpin.
Baca Juga: Terbukti! Pemimpin Perempuan Lebih Sukses Menghadapi Krisis Pandemi Covid-19, Ini Alasannya
"Perlu gebrakan di level desa yang menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi kepala RT, kepala RW, bahkan kepala desa," ungkap Kalis.
Selain itu, lanjut dia, perlu juga adanya contoh nyata perempuan sukses berkarier yang berasal dari desa sehingga bisa menjadi panutan para perempuan desa lainnya.
Menurut Kalis, contoh nyata demikian dapat membuat para perempuan desa menyadari bahwa peran perempuan lebih dari sekadar di rumah dan punya penghasilan itu penting.