Parapuan.co - Menurut Kawan Puan, adakah perempuan yang tahan diperlakukan dengan tidak baik hingga kasar oleh pasangannya?
Jawabannya, ada. Sebagian besar dari mereka mengatasnamakan cinta untuk tetap bertahan walau sering disakiti pasangannya.
Masih ada Thalita Latief lainnya yang mengalami KDRT dari pasangan tapi masih berusaha bertahan. Apakah itu benar-benar cinta atau sudah terjebak Sindrom Stockholm?
Baca Juga: Tak Hanya KDRT, 5 Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Ini Juga Perlu Kita Ketahui
Padahal, kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan. Cinta semata tidak cukup untuk mempertahan hubungan yang demikian.
Kalau sudah begitu, siapa yang sebenarnya bermasalah? Perempuan yang menjadi korban atau pasangannya yang melakukan kekerasan?
Barangkali, keduanya bisa saja bersalah, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Jika fokus pada kondisi mental perempuan, keadaan di mana dirinya rela tetap bersama walau disiksa bisa jadi ada kaitannya dengan Sindrom Stockholm.
Definisi Sindrom Stockholm
Mengutip dari Healthline.com, Sindrom Stockholm adalah respons psikologis yang terjadi ketika korban kekerasan merasa mempunyai ikatan emosional dengan penculik atau penyiksanya.
Dengan kata lain, para korban merasa bersimpati kepada orang yang menyandera mereka setelah selama berhari-hari, hingga berbulan-bulan bersama.
Ironisnya, terkadang dalam kasus tertentu perasaan simpati tersebut bisa jadi berkembang menjadi kasih sayang dan cinta.
Dalam kondisi semacam ini, dalam hati korban bisa jadi tumbuh perasaan positif terhadap orang yang menyiksanya.
Baca Juga: Hobi Selingkuh dan KDRT Bisa Terlihat dari Tulisan Tangan, Begini Penjelasan Ahli
Seiring berjalannya waktu, korban menjadi nyaman bersama pelaku dan jadi tidak ingin dibebaskan dari jeratan si pelaku. Namun, kondisi ini tak hanya untuk kasus penculikan saja.
Kondisi ini bisa dialami oleh orang yang memiliki relasi romantis atau hubungan keluarga, seperti pasangan suami istri, hubungan persaudaraan, orang tua, dan lainnya.
3 Gejala Umum Sindrom Stockholm
1. Korban membangun perasaan positif terhadap orang yang menculik, menyiksa, atau melakukan kekerasan kepada mereka.
2. Korban memiliki perasaan negatif terhadap polisi atau orang lain yang bermaksud untuk membantunya keluar dari kondisi yang dialami.
3. Korban mulai melihat sisi humanis dari pelaku, dan percaya bahwa ia dan pelaku memiliki tujuan yang sama.
Sindrom Stockholm di Tengah Masyarakat
Sindrom Stockholm biasanya dikaitkan dengan korban penculikan dan tersangka yang menjeratnya.
Akan tetapi, saat ini faktanya, di tengah-tengah masyarakat, sindrom ini juga berkembang dalam sejumlah situasi, seperti:
1. Hubungan asmara yang tidak sehat
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Sindrom Stockholm merupakan respons psikologis yang terbangun selama beberapa waktu, bisa hitungan hari, bulan, atau tahun.
Selama itu pula, perasaan positif korban terhadap pelaku kekerasan terus tumbuh, terlebih kalau pelaku adalah kekasihnya sendiri.
Maka dari itu, korban tidak sadar kalau ia mengalami kekerasan dan mesti segera keluar dari situasi hubungan asmara tidak sehat yang dijalaninya.
Tak hanya dalam hubungan asmara pacaran, kondisi ini masih mungkin terjadi saat kamu sudah berumah tangga hingga akhirnya menjadi KDRT.
Baca Juga: Belajar dari Nindy Ayunda, Ini Tanda-tanda Perempuan Sudah Jadi Korban KDRT
2. Kekerasan terhadap anak
Seringkali, korban kekerasan yang masih anak-anak belum mampu mengenali tindakan yang diterimanya.
Alhasil, mereka merasa bahwa mematuhi pelaku kekerasan adalah cara yang tepat untuk tidak mendapat siksaan yang lebih berat lagi.
3. Perdagangan seks
Tak peduli meski dianiaya, perempuan yang terjerat perdagangan seks akan merasa bergantung kepada pelaku untuk memenuhi kebutuhannya.
Sebagian dari mereka menuruti apapun permintaan pelaku, serta menolak untuk melapor atau bekerja sama dengan polisi.
4. Pembinaan dalam olahraga yang terlalu keras
Tanpa disadari, perempuan yang berprofesi sebagai atlet juga bisa menjadi korban dari pembina atau pelatih atau instruktur olahraga.
Seringkali, para atlet diminta berlatih terlalu keras, tetapi merasa semua itu demi kebaikan dan kesuksesan mereka di masa depan.
Padahal, latihan juga ada porsinya. Kalau sampai berlebihan dan menyebabkan cedera atau kematian, tentu sudah tidak bisa ditoleransi. (*)