Niken menjelaskan bahwa apa yang dialami penyintas sesaat setelah bencana ini merupakan reaksi stress dalam masa krisis.
Pasalnya, wajar bula seseorang merasa syok hingga mungkin menangis tanpa henti ketika mendapati kondisi dirinya yang berubah secara drastis.
“Artinya, itu adalah reaksi yang dalam tanda kutip wajar muncul karena kondisi yang tidak normal atau kondisi yang tidak seperti biasanya,” terangnya.
Reaksi yang diberikan pun akan bermacam-macam serta berbeda pada setiap individu.
Ada yang meluapkannya dengan menangis, ada pula yang mengutarakannya lewat teriakan, atau bahkan diam menyendiri dan menghindar dari orang lain.
Tapi ada pula sekelompok orang yang justru menampilkan sisi heroic-nya dengan tampak baik-baik saja dan banyak memberikan bantuan pada korban lain, seperti pada keluarga dan tetangganya.
Baca Juga: Dampak Terikini Gempa Malang, 8 Korban Meninggal dan 25 Luka-luka
Hal ini pun benar terjadi, menurut pengalaman Niken, terdapat fenomena di mana muncul perilaku heroic dari para korban bencana gempa di Yogyakarta pada 2006 silam.
“Jadi banyak sekali orang yang punya semangat menolong orang lain, menolong tetangganya, ya menolong keluarganya sendiri, menolong masyarakat di lingkungan tempat tinggal. Apakah itu bisa kita sebut dengan orang yang kuat atau tidak mengalami stres pada saat masa krisis? Tidak juga. Itu adalah respons awal dia, respons otomatis. Justru buah dari syok atau stress yang dia rasakan,” ucap Niken.
Orang-orang seperti ini adalah yang akan (beresiko) mengalami kelelahan emosi di saat semua orang itu sudah dalam kondisi tenang, sudah bisa menata kembali aktivitasnya dan tahu apa yang mau mereka lakukan setiap harinya.