Parapuan.co - Kawan Puan, tokoh pers nasional bukan hanya sebatas Tirto Adhi Soerjo atau H. Rosihan Anwar saja.
Banyak juga perempuan yang berhasil mengukuhkan namanya di bidang ini. Sebut saja salah satunya Surastri Karma Trimurti atau yang lebih dikenal dengan SK Trimurti.
SK Trimurti merupakan seorang jurnalis, penulis, serta guru, yang mengambil bagian dalam gerakan kemerdekaan Indonesia terhadap penjajahan Belanda.
Melansir dari Tribunnews, SK Trimurti merupakan putri pasangan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, yakni R Ngabehi Salim Banjaransari dan RA Saparinten binti Mangunbisomo. Ia lahir di Boyolali, Jawa Tengah, pada tanggal 11 Mei 1912.
Baca Juga: Tinggalkan Karier di Amerika Demi Jadi Barista, Ini Kisah Evani Jesslyn Mendalami Dunia Kopi
Trimurti memulai pendidikan pertamanya di sekolah Ongko Loro atau Tweede Inlandsche School (TIS).
Setelah lulus, Trimurti melanjutkan pendidikannya di Meisjes Normaal School (MNS) atau sekolah guru perempuan dan sempat mengajar di sana.
Tidak berselang lama, SK Trimurti pindah ke MNS Banyumas dan di sanalah ia berkenalan dengan organisasi dan politik.
Trimurti diketahui mengajar sekaligus mengikuti kursus kader yang diadakan Soekarno dan Partindo (Partai Indonesia) tahun 1933 dan menjadi pejuang militan.
Baca Juga: Maria Bakalova Berharap Ia Bukan Aktris Eropa Timur Terakhir di Oscar
Hal yang perlu diketahui Kawan Puan bahwa di era itu perempuan masih dianggap tabu jika mengikuti atau bergabung pada aktivitas politik maupun organisasi yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki.
Namun Trimurti beranggapan bahwa seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan para laki-laki dalam memajukan diri, baik di bidang akademis maupun sosial.
Pada tahun 1936, Trimurti sempat ditangkap dan dipenjara karena menyebarkan pamflet antipenjajah oleh Belanda di Semarang.
Melansir dari Nationalgeographic, Trimurti beralih karier dari mengajar menjadi jurnalis selepas ia dibebaskan.
Tidak butuh waktu lama, nama SK Trimurti mulai dikenal di kalangan jurnalis dan antikolonial sebagai wartawan yang kritis.
Untuk menghindari kembali tertangkap oleh pemerintah Belanda, Trimurti kerap kali menggunakan nama pena atau samarannya, yakni Trimurti atau Karma secara bergantian.
Baca Juga: Masuk Forbes 30 Under 30, Inilah Kakak Beradik di Balik 'Bye-bye Plastic Bags'
Selama berkarier sebagai wartawan, Trimurti diketahui telah bekerja untuk sejumlah surat kabar Indonesia seperti Genderang, Bedung, dan Pikiran Rakyat.
Bersama sang suami, Sayuti Melik, Trimurti mendirikan surat kabar Pesat di Semarang.
Karena saat itu penghasilannya masih kecil, Trimurti dan Sayuti terpaksa melakukan setiap pekerjaan secara mandiri.
Mulai dari pekerjaan keredaksian sampai urusan percetakan, dari distribusi sampai urusan penjualan.
Baca Juga: Kaori Icho, Pegulat Perempuan Pertama yang 4 Kali Bawa Pulang Mendali Emas di Olimpiade
Tulisan kritik mengenai pemerintah Hindia-Belanda yang banyak Trimurti dan Sayuti tulis dalam surat kabar mereka ternyata membuat keduanya keluar masuk penjara.
Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Trimurti pun dikenal sebagai aktivis pembela hak-hak pekerja.
Pada tahun 1947-1948, ia diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja Indonesia pertama di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.
Trimurti juga mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Tingkat V dari Presiden Soekarno atas jasa-jasanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dalam karya jurnalistiknya.
S.K Trimurti wafat pada tanggal 20 Mei 2008 di usianya yang ke-96 tahun di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Indonesia.
Baca Juga: Ágnes Keleti, Juara Olimpiade Tertua di Dunia dan Penyintas Holocaust
Untuk menghormati jasanya, sebuah upacara digelar di Istana Negara di Jakarta Pusat sebelum akhirnya Trimurti dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (*)