Parapuan.co - R.A. Kartini adalah tokoh perjuangan emansipasi perempuan Indonesia.
Kartini memperjuangkan kesetaraan perempuan dalam pendidikan, juga hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Kartini menentang banyak aturan saat itu yang merugikan perempuan seperti budaya pingitan, pernikahan anak di bawah umur, serta poligami.
Dalam buku karya Elisabeth Keesing, Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar: Hidup, Suratan, dan Karya Kartini (1999), diceritakan tentang kekecewaan Kartini dengan Snouck Hurgronje, penasihat pemerintahan Hindia Belanda dalam urusan agama Islam.
Kartini menilai Snouck tidak pernah tegas soal poligami atau permaduan.
Baca Juga: Rupanya, Ini Alasan Perayaan Hari Kartini Identik dengan Kebaya
Dalam surat-suratnya, Kartini banyak bercerita mengenai perempuan yang terluka akibat diduakan oleh suaminya.
Melansir dari Grid.id, Kartini yang menentang poligami, harus merasakannya karena menikah dengan laki-laki yang sudah beristri, Bupati Rembang, Raden Adipati Djojoningrat.
Sejak kecil, Kartini sudah menyaksikan ibunya, Ngasirah, menjadi korban dari poligami.
Ayah Kartini harus menikahi perempuan lain yang adalah seorang bangsawan.
Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon pada tanggal 6 November 1899, Kartini mengungkapkan perasaannya terkait dengan poligami.
“Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang telah menikah dan menjadi seorang ayah, dan yang telah memiliki istri yang melahirkan anak-anaknya, membawa perempuan lain ke dalam rumahnya?” Tulis Kartini dalam suratnya.
Sampai saat ini kasus poligami masih menjadi polemik bangsa Indonesia.
Banyak lembaga perempuan yang menentang poligami, karena dirasa dapat berakibat buruk bagi kesehatan mental perempuan.
Belum lagi, kasus poligami di Indonesia cenderung paksaan dan non-konsensual.
Banyak poligami yang hanya berdasarkan pada keputusan suami.
Istri cenderung dituntut untuk mengikuti kemauan suami.
Masih sering kita temukan di media sosial, oknum-oknum yang mendukung poligami dan menyebarkan ajarannya.
Baca Juga: Jarang Diketahui, R.A. Kartini Ternyata Berperan Penting dalam Kesenian Ukir Jepara
Melansir dari Kompas.com, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia (UI) Meutia Hatta Swasono mengatakan, masih banyak masyarakat yang keliru memahami makna poligami yang dimaksud dalam Islam.
"Sebuah perkawinan tentu tidak dapat dilaksanakan begitu saja, negara pun telah menetapkan beberapa syarat atau ketentuan terkait perkawinan.
Mulai dari batas usia, tahap pendidikan pra-nikah, bimbingan dalam masa pernikahan, dan berbagai ketentuan, program, dan kebijakan lainnya," ungkap Meutia.
Sebagai perempuan modern, pemikiran Kartini terhadap poligami harus tetap kita tanamkan.
Baca Juga: Mengenal SK Trimurti, Jurnalis Perempuan Legendaris Indonesia
Semangat juangnya harus menjadi inspirasi kita dalam mencegah adanya pernikahan non-konsensual dan hubungan pernikahan yang merugikan perempuan.
Perempuan berhak memilih yang terbaik baginya dalam hubungan pernikahan yang dijalani, termasuk ikut bersuara dan ambil keputusan terkait keinginan suami untuk berpoligami.(*)