Parapuan.co - Kendati baru memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama sekitar satu setengah tahun, namun Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, sudah mengalami tantangan yang lumayan.
Lili memang baru mengemban amanah tersebut sejak dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Desember 2019.
Meski masa jabatannya masih lama berakhir, yakni 2023, namun dirinya sudah mengalami sejumlah tantangan selama menjadi salah satu punggawa penumpasan korupsi negara.
Dalam pertemuan tatap muka dengan PARAPUAN di gedung KPK, Jakarta, Senin (19/4/2021), perempuan kelahiran 1966 ini berbagi kisahnya mengenai tantangan selama berkarya sana.
Baca Juga: Peran Keluarga Ajarkan Anak Nilai Moral untuk Cegah Perilaku Koruptif
Lebih Kedepankan Logika di KPK
Menjadi orang nomor dua yang diberi kepercayaan untuk menumpas praktik korupsi di Indonesia tidaklah mudah.
Orang nomor satunya, tentu saja Ketua KPK Firli Bahuri.
Ketika awal berkantor di Gedung Merah Putih, Lili mendapati tugasnya di KPK begitu berbeda dari tugasnya dulu di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Sebelum berlabuh di badan antirasuah, dirinya memang pernah bekerja sebagai Komisioner LPSK dari 2008 sampai 2018.
Dia mengungkapkan bahwa saat masih di LPSK dulu, dirinya lebih banyak berhubungan dengan saksi maupun korban tindak pidana.
Akibatnya, dia lebih banyak memakai hati untuk berinteraksi dengan para saksi dan korban agar mereka mau mengatakan yang sejujurnya mengenai suatu kasus pidana.
Sebaliknya, di KPK, dirinya justru harus lebih banyak mengandalkan logika untuk menentukan tuntutan hukum kepada tersangka atau terdakwa kasus korupsi.
"Di sini (KPK), saya harus tega untuk menuliskan, misalnya, tuntutannya itu berapa (Rupiah untuk denda dan berapa tahun untuk hukuman kurungan).
Baca Juga: KPK Ungkap Bahwa Perempuan Punya Peran Penting untuk Mencegah Korupsi, Caranya?
Saya juga harus tega melihat bahwa dia (tersangka atau terdakwa korupsi) benar-benar telah melakukan perbuatan tersebut (korupsi). Jadi, ini hal yang berbeda, terbalik (dibanding dulu di LPSK)," beber Lili.
Pasti butuh waktu untuk menyesuaikan dengan sifat pekerjaan barunya yang sangat berbeda ini.
"Nah, itu adaptasi betul, yang harus saya lakukan selama satu sampai enam bulan (pertama di KPK). Sekarang sudah terbiasa," tukas Lili.
Tak Pedulikan Cemoohan
Selain sifat pekerjaan barunya yang amat berbeda dari pekerjaan lamanya, Lili juga mengalami cemoohan dari orang-orang, terutama yang sama-sama berasal dari daerah seperti dirinya.
"Saya dicemooh oleh teman-teman di tingkat wilayah, karena stigma yang ada yaitu orang wilayah tidak mampu duduk di jabatan atau posisi strategis di tingkat nasional kecuali menjadi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)," ucap Lili, tanpa merinci wilayah mana saja yang dimaksud.
Namun, dengan keberhasilannya mencapai puncak kepemimpinan KPK, dia mematahkan stigma tersebut.
Baca Juga: Ini Alasan Perempuan Harus Berani dan Tegas dalam Melawan Korupsi
Kendati demikian, ada saja segelintir orang, terutama yang sekampung halaman dengannya, yang tetap menghina dirinya terlepas dari pencapaiannya di KPK.
"Tantangan terbesar saya sebetulnya selama satu tahun (pertama), saya justru diolok-olok di tempat sendiri di Sumatera Utara," ujar Lili.
Dia berkisah ada sejumlah kenalannya di provinsi tersebut yang merasa bahwa percuma Lili bekerja di KPK, sebab di Sumatera Utara angka korupsinya tetap tinggi.
Mereka seolah merasa bahwa Lili sebaiknya mengurus pemberantasan korupsi di daerah asalnya saja, alih-alih di tingkat nasional.
"Mereka bilang, 'Percuma kau di KPK, Li. Tuh, banyak korupsi di daerah (Sumatera Utara). Kita (Sumatera Utara) tidak turun rangking (dalam hal korupsi). Ngapain kau di situ (KPK)?'" Lili menirukan ucapan sumbang orang-orang tersebut.
Dia kemudian merespons cibiran itu dengan santai.
"Saya bilang, 'Bupatimu, walikotamu, kau juga yang pilih itu.' Kita harus berani juga punya argumen yang masuk di akal mereka," ungkap Lili.
Namun, dia cenderung tak mau ambil pusing dengan segala ujaran negatif di kanan-kirinya.
Baca Juga: Sering Membuat Perempuan Merasa Terpojok, Dewas KPK Imbau Media Membuat Berita yang Imbang
Tak pernah sekalipun dirinya merasa ragu, takut, atau terpikir untuk mundur dari kursinya di KPK karena tekanan eksternal seperti itu.
"Rasa (ragu atau) takutnya tak ada. Karena, saya pikir, ketika kita mau terjun ke suatu tempat, maka kita sudah harus tahu tentang risiko yang akan kita hadapi sehingga kita punya persiapan untuk itu.
Jadi, kita tak usah khawatir karena khawatir sama dengan ragu. Ragu adalah gagal. Bagi saya begitu," pungkas Lili.(*)