Parapuan.co – Kawan Puan, pada tanggal 26 Juni diperingati sebagai Hari Anti Penyiksaan Internasional.
Untuk memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional sekaligus momentum Papuan Week bulan Juni, Asia Justice and Rights bersama Komnas Perempuan mengadakan webinar tertajuk Menyingkap Tabir: Suara Perempuan Papua Menentang Penyiksaan pada Jumat (25/6/2021).
Kedua momentum tersebut disoroti Komnas Perempuan karena tindak kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia (ill treatment) masih terus terjadi terhadap perempuan Papua.
Dalam webinar tersebut, sederet narasumber pun dihadirkan, yaitu Theresia Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan), Elvira Rumkabu (Akademisi Universitas Cendrawasih), Loury Da Costa (Perhimpunan Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian Sorong/PBHKP) dan Gispa Ferdinanda (Mahasiswi HI asal Papua yang kuliah di Universitas Gadjah Mada).
Baca Juga: Komnas Perempuan: Perempuan di Papua Saat ini Alami Kekerasan Berlapis
Definisi penyiksaan
Menurut Theresia Iswarini, Konvensi Anti Penyiksaan telah mendefinisikan apa itu penyiksaan.
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga.
Theresia Iswarini juga menambahkan baha penyiksaan ini juga kadang beririsan dengan ill treatment, yaitu perbuatan sewenang-wenang yang tidak harus ditimbulkan untuk suatu tujuan tertentu.
Namun ill treatment harus terdapat suatu niat untuk menyingkap individu pada kondisi yang sama dengan atau berakibat pada perlakuan sewenang-wenang.
Penyiksaan perempuan di dalam konflik Papua
Menurut Theresia Iswarini, penyiksaan sering kali digunakan oleh aparat untuk mendapatkan keterangan ketika terjadi konflik di Papua.
“Mungkin harus dilihat kembali dan saya yakin pada beberapa kasus pada Kawan Papua penyiksaan itu terjadi ya, sesuai dengan definisi yang dibuat dalan konvensi.”
“Karena pada situasi-situasi untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan atau untuk kepentingan orang ketiga, maka penerapan penyiksaan dilakukan,” ungkap Theresia Iswarini.
Sebelumnya, Elvira Rumkabu mengungkapkan bahwa sejak tahun 1963 sampai 2010 penyiksaan terhadap perempuan terus terjadi.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pemerkosaan menjadi salah satu metode yang kerap digunakan sebagai salah satu bentuk penyiksaan terhadap perempuan Papua.
Baca Juga: Minimnya Layanan Kesehatan dan Pemulihan Bagi Perempuan Korban Kekerasan di Papua
Dampak penyiksaan terhadap perempuan Papua
Kawan Puan, penyiksaan perempuan atau lebih tepatnya penyiksaan seksual di Papua berdampak sangat besar pada kehidupan mereka.
“Jadi kalau kita mendengar kekerasan atau penyiksaan seksual di masa konflik, itu tidak serta merta bisa diselesaikan dengan segera,” ungkap Theresia Iswarini.
Theresia Iswarini juga menambahkan bahwa dulu ketika ia bekerja untuk menanganani kasus di Aceh dan Timor Leste dan sekarang Papua, itu proses trauma yang terjadi para perempuan cukup panjang.
Panjangnya trauma yang dialami perempuan korban penyiksaan seksual di masa konflik ini juga bisa menimbulkan anggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa terjadi.
“Bisa jadi menimbulkan kemungkinan bahwa kekerasan itu adalah sesuatu yang biasa ya, baik untuk pelaku maupun bagi si korban sendiri,” tegasnya.
Pemulihan korban penyiksaan
Untuk itulah Theresia Iswarini menyampaikan bahwa pemulihan secara sistematis perlu dilakukan.
“Itu sebabnya perlu sebuah pemulihan yang sangat sistematis, yang memungkinkan setiap orang atau setiap korban ataupun survivor untuk bisa mendapatkan ruang-ruang guna pemulihannya,” ungkap Theresia Iswarini.
Lebih lanjut Theresia Iswarini menjelaskan bahwa pemulihan sistematis ini mencakup pemulihan perspektif, pemulihan pandangannya terhadap hidup, dan kepercayaan diri atas kepastian akan dirinya mendapatkan tempat di manapun ia berada.
Baca Juga: Menyuarakan Kekerasan Seksual Sama dengan Meneguhkan Keadilan bagi Korban
Nah Theresia juga berharap agar ruang-ruang untuk pemulihan korban penyiksaan terutama penyiksaan seksual pada perempuan Papua ini bisa dibangun oleh siapa saja.
Kawan Puan, melalui Hari Anti Penyiksaan Internasional dan bahasan penyiksaan terhadap perempuan Papua ini merupakan momentum yang tepat untuk mengingat kembali urgensi pengesahan RUU PKS.
(*)