Parapuan.co - Staatliche Museen zu Berlin dan Singapore Art Museum meluncurkan Collecting Entanglements and Embodied Histories.
Itu merupakan sebuah proyek jangka panjang yang memungkinkan terjadinya percakapan pertemuan, serta pertukaran gagasan, wacana, dan karya di antara koleksi sejumlah lembaga yang terlibat.
Percakapan ini akan menjadi empat pameran yang berbeda di Chiang Mai, Singapura, Berlin dan Jakarta, dengan kurator Anna-Catharina Gebbers, Grace Samboh, Gridthiya Gaweewong dan June Yap.
Para kurator merumuskan landasan proyek ini secara bersama-sama.
Kemudian, masing-masing kurator membuat sebuah pameran yang menjelajahi kekhasan kisah di balik koleksi yang mereka oprek dan memamerkan karya-karya dari koleksi keempat lembaga yang terlibat.
Baca Juga: Jadi Penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020, Ini 4 Destinasi Wisata Tokyo
Collecting Entanglements and Embodied Histories bertujuan menelusuri bermacam cerita, kontra sejarah, dan bagian sejarah yang hilang, yang gaung semangatnya masih jelas terdengar sembari mencari bentuk-bentuk pengisahan baru.
Proyek ini menjelajahi pertautan kisah-kisah dalam proses pembangunan bangsa, pembentukan identitas perorangann, serta bagaimana perwujudan keduanya hadir dalam karya-karya seni dan sejarah pameran.
“Proyek ini berangkat dari serangkaian percakapan dengan dan di antara para kurator yang bermula pada tahun 2017. Kami memperlapang ruang percakapan ini agar dapat berlanjut, karena kami melihat betapa pentingnya upaya penelusuran kembali kelindan sejarah yang berdampak terhadap proses pembangunan bangsa sembari merenungkan sangkut-pautnya dengan kenyataan hidup kita hari ini,” kata Dr. Stefan Dreyer, Direktur Goethe-Institut Wilayah Asia Tenggara, Australia dan Selandia Baru.
Mulai sekarang sampai Maret 2022, pemirsa dapat mengikuti program publik bulanan yang diampu oleh para kurator dan disiarkan di Youtube dan Facebook setiap Kamis terakhir dalam sebulan pada pukul 17.00 waktu Jakarta dan Bangkok (UTC+7) / pukul 18.00 waktu Singapura (UTC+8) / pukul 12 waktu Berlin (UTC+2).
ERRATA, Chiang Mai, MAIIAM Contemporary Art Museum (30 Juli – 1 November 2021)
ERRATA adalah babak pertama dalam rangkaian pameran Collecting Entanglements and Embodied Histories.
Pameran ini menyajikan hampir 100 karya dari 38 perupa dan 4 arsip.
Errata, sebuah istilah yang merujuk pada lembaran yang disisipkan dalam publikasi cetak untuk mengindikasikan pembetulan kesalahan, dalam konteks pameran ini menjadi metafora untuk koleksi MAIIAM sebagai sebuah errata terhadap sejarah seni modern dan kontemporer Thailand.
Pameran ini dikurasi oleh Gridthiya Gaweewong, bersama Anna-Catharina Gebbers, Grace Samboh dan June Yap.
Selama pameran berlangsung, audiens dapat mengikuti program publik yang berlangsung secara daring maupun luring.
Baca Juga: 3 Wisata Konawe, Daerah Asal Apriyani Rahayu Peraih Emas Olimpiade Tokyo 2020
Pada tanggal 29 Juli 2021, kurator Gridthiya Gaweewong telah memandu The ‘Body‘ is Not Just Flesh, diskusi daring bersama seniman Arahmaiani, Kawita Vatanajyankur dan Sutthirat Supaparinya dengan moderator Zoe Butt.
Program ini tersedia untuk disaksikan di kanal Youtube dan Facebook Goethe-Institut Thaland, serta di halaman Facebook Galeri Nasional Indonesia, Goethe-Institut Indonesien, Goethe-Institut Singapore, Hamburger Bahnhof – Museum für Gegenwart – Berlin, MAIIAM Contemporary Art Museum dan Singapore Art Museum.
“Pameran ini mengungkapkan kerumitan praktik seni dengan kisah-kisah kecil melalui seni rupa pertunjukan, karya berbasis media dan karya multidisipliner, terutama dari seniman, khususnya perempuan, yang menggunakan tubuh mereka dan kamera untuk menangkap dan memberi wujud kepada sejarah yang saling terjalin,” komentar Gridthiya Gaweewong, Direktur Artistik Jim Thompson Art Center, Bangkok, Kurator Tamu MAIIAM Contemporary Art Museum, Chiang Mai.
The Gift, diadakan oleh Singapore Art Museum (20 Agustus – 7 November 2021)
Babak kedua rangkaian pameran ini mengeksplorasi gagasan pertukaran, pengaruh dan jejak melalui subyek pemberian, atau hadiah.
Mulai dari kegiatan sosial sampai pertunjukan budaya dan konsep filsafat, tindakan memberi hadiah yang tampak biasa itu sesungguhnya ambivalen dan bersifat paradoks, dan dengan demikian menjadi sumber pesona, kekesalan, serta perdebatan.
Berbeda dengan transaksi ekonomi, hadiah itu lebih dari sekadar objek yang dipertukarkan.
Hadiah mewujudkan keluasan hati sang pemberi, yang kerap menimbulkan kewajiban di pihak penerima, dan tanpa disengaja mungkin bahkan menjadi beban yang berat.
Pameran ini dikurasi oleh June Yap, bersama Anna-Catharina Gebbers, Grace Samboh dan Gridthiya Gaweewong dan diadakan di National Gallery Singapore.
Baca Juga: 4 Destinasi Wisata Menarik di Jepang untuk Dikunjungi Setelah Pandemi
“Dengan berlandaskan konsep pemberian hadiah yang berkesan sederhana, pameran ini dikurasi untuk mengamati hal-hal berwujud dan tidak berwujud pada dan di sekitar objek, karya seni dan riwayat, serta bagaimana hal-hal itu saling terjalin. Sama seperti pemberian, hubungan kita dengan objek, karya seni dan riwayat tidak dapat dipertimbangkan tanpa memperhatikan hubungan antar orang. Dalam konteks pandemi, paradoks pemberian juga dapat dilihat sebagai tercermin dalam paradoks mengenai kontak yang diharapkan di tengah ketiadaannya, tetapi juga mengandung risiko besar,” pesan June Yap, Direktur Kuratorial, Koleksi dan Program, Singapore Art Museum.
Nation, Narration, Narcosis, Hamburger Bahnhof – Museum für Gegenwart – Berlin (4 November 2021 – 3 Juli 2022)
Dikurasi oleh Anna-Catharina Gebbers bersama Grace Samboh, Gridthiya Gaweewong dan June Yap, pameran di Berlin ini mengeksplorasi hubungan di antara bentuk-bentuk seni yang kritis - khususnya seni rupa pertunjukan, seni media berbasis waktu, dan instalasi - dan protes politik, trauma sejarah, dan kisah-kisah sosial.
Berbagai mitos dan cerita yang menyertai proses pembangunan bangsa, yang biasanya bersifat brutal, dipatahkan oleh kisah lain dalam karya-karya pada pameran ini.
Konsep negara yang terkandung dalam nama “Galeri Nasional” berhadapan dengan gagasan dengan bentuk lain dari komunitas, solidaritas dan rasa kebersamaan, diawali dengan konsep Beuys mengenai patung sosial (social sculpture).
Pameran ini mempertemukan karya-karya lebih dari 50 seniman, arsip berbagai gerakan seniman serta intervensi oleh para penggagas kolektif budaya.
Selain karya-karya Joseph Beuys di Hamburger Bahnhof ditampilkan juga karya dan dokumen dari koleksi beberapa Museum Nasional di Berlin dari zaman imperialisme sampai masa kini, serta karya-karya pinjaman dari museum mitra di Chiang Mai, Jakarta dan Singapura, serta dari para seniman.
Baca Juga: Rekomendasi 5 Museum di Sumatera Utara yang Bisa Kamu Kunjungi
“Nationalgalerie – Staatliche Museen zu Berlin dapat didirikan pada tahun 1871 terutama karena adanya sumbangan kolektor pribadi dan bankir asal Berlin, Joachim Heinrich Wilhelm Wagener, kepada raja Prusia, dengan syarat bahwa sebuah galeri nasional harus didirikan di Berlin.
"Tuntutan akan pendirian sebuah galeri nasional berhubungan erat dengan tidak adanya ikatan dan sentimen kenegaraan.
"Museum sebagai tempat representasi persatuan spiritual dikaitkan dengan harapan untuk mencapai persatuan politik sebagai negara yang sudah lama didambakan.
"Tetapi pembentukan negara ini tidak bertepatan dengan era imperialisme yang baru tumbuh, di mana kepemilikan atas daerah jajahan dipandang sebagai masalah wibawa nasional dan diperebutkan secara brutal.
"Kini, Galeri Nasional di Berlin menampung salah satu koleksi terbesar karya-karya Joseph Beuys, seniman pencetus konsep yang mencakup tindakan manusia yang diarahkan untuk membangun struktur dan wujud masyarakat," jelas Anna-Catharina Gebbers, Kurator Koleksi untuk Seni Kontemporer di Nationalgalerie im Hamburger Bahnhof - Museum für Gegenwart - Berlin.
Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak, Jakarta, Galeri Nasional Indonesia (28 Januari – 28 Februari 2022 – TBC)
Sekitar masa Konferensi Asia-Afrika (Bandung, 1955), pameran berorientasi geopolitik mulai merebak di seluruh dunia.
Di antaranya tercatat Sao Paulo Biennale (perdana 1951), Alexandria Biennale (perdana 1955), dan Biennial of Graphic Arts (Ljubljana, perdana 1955).
Satu dasawarsa kemudian ASEAN dibentuk. Memasuki tahun 1981, pameran keliling di antara negara-negara anggota ASEAN mulai berlangsung.
Pada masa itu juga terjadi lonjakan pameran internasional yang tidak berkiblat ke Barat seperti Fukuoka Asian Art Triennale (perdana 1979), Asian Art Biennale (Bangladesh, perdana 1981), Australia and the Regions Exchange (perdana 1983), dan Havana Biennale (perdana 1984). Lingkup Gerakan Nonblok (didirikan 1961) mungkin terlampau luas untuk upaya seperti itu, atau kita bisa berasumsi bahwa Sao Paulo Biennale mencakup “kawasan” tersebut, mengingat pendekatan awal yang digunakan untuk menemukan seniman dan mengirim karya adalah kerja sama antarpemerintah.
Baca Juga: Tak Kalah dari Raja Ampat, 5 Pantai di Sumatera Utara Ini Juga Punya Daya Tarik Istimewa
Apa yang dapat kita pelajari dari berbagai pertukaran tersebut?
Apakah pertukaran-pertukaran itu semata gerak-gerik simbolik? Seperti apa hubungan para seniman?
Betulkah terjadi pertukaran di antara para perorangan seniman ini? Pameran ini dikurasi oleh Grace Samboh, bersama Anna-Catharina Gebbers, Gridthiya Gaweewong dan June Yap.
“Galeri Nasional Indonesia (Galnas) menjadi rumah untuk lebih dari 1898 karya seni modern dan kontemporer. Pada umumnya, Galnas mewadahi pameran eksternal dan menjalankan program-program yang diprakarsai oleh Direktorat Seni dan Budaya. Baru dalam tujuh tahun terakhir Galnas mulai memasang koleksinya dalam galeri permanen. Minat saya sebagai kurator sederhana saja. Saya ingin memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada. Saya ingin melihat bagaimana negara menyapa masyarakat serta pekerja seni sembari menghidupkan koleksi mereka melalui ajang pameran, seminar dan peragaan koleksi,“ terang Grace Samboh, peneliti dan kurator.
Untuk kabar terkini mengenai pameran dan program publik dalam rangka Collecting Entanglements and Embodied Histories, silakan kunjungi collectingentanglements.net.
(*)