Parapuan.co – Kesadaran masyarakat akan bahaya limbah pakaian terhadap lingkungan membuat para pelaku fashion berkontribusi membuat produk yang lebih baik dan dengan cara yang lebih menyejahterakan.
Salah satunya dengan mengganti skema fast fashion dan beralih menerapkan ethical fashion.
Untuk diketahui, ethical fashion adalah sebuah konsep atau gerakan fashion yang berfokus pada sikap etis suatu perusahaan garmen atau pakaian terhadap hak-hak dan kesejahteraan pekerjanya.
Industri yang mempraktikkan konsep ini biasanya lebih memperhatikan dampak lingkungan, kelayakan produk, serta upah bagi para pekerjanya.
Baca Juga: Tak Lagi Mengejar Profit, Ini Etika Bisnis Baru Industri Fashion
Namun rupanya, bagi Greta Thunberg, aktivis muda lingkungan, ethical fashion tidak benar-benar menerapkan cara yang baik dalam prosesnya.
Hal tersebut ia sampaikan dalam utasan status di akun Twitternya, @gretathunberg pada Minggu (8/8/2021).
Dalam unggahan foto dirinya menjadi sampul depan majalah Vogue Skandinavia, ia mengatakan bahwa industri fashion adalah penyumbang besar bagi keadaan darurat iklim dan ekologi.
Tak hanya pada dampak lingkungannya yang buruk, tapi juga terhadap pekerja dan komunitas yang menurutnya banyak dieksploitasi di seluruh dunia hanya demi beberapa orang bisa menikmati fast fashion saja.
Many make it look as if the fashion industry is starting to take responsibility, spending fantasy amounts on campaigns portraying themselves as ”sustainable”, ”ethical”, ”green”, ”climate neutral” or ”fair”. But let’s be clear: This is almost never anything but pure greenwash.2/3
— Greta Thunberg (@GretaThunberg) August 8, 2021
“Banyak yang membuat seolah-olah industri fashion mengambil tanggung jawab dan menggambarkan diri mereka sebagai ‘berkelanjutan’, ‘etis’, ‘hijau’, ‘climate neutral’ dan ‘adil’,” tulis Greta dalam utasan cuitan tersebut.
“Tapi mari kita perjelas: Ini tidak pernah terjadi selain greenwash murni,” tambahnya lagi.
Menurutnya, kita tidak bisa memproduksi fashion secara massal namun dengan cara yang berkelanjutan di tengah dunia dengan kondisi saat ini.
“Itulah salah satu banyak alasan mengapa kita membutuhkan perubahan sistem,” tutupnya dalam cuitan tersebut.
Greta Thunberg sendiri sudah tiga tahun tidak membeli pakaian. Hal ini ia sampaikan dalam wawancara dengan Vogue Skandinavia.
“Terakhir kali saya membeli sesuatu yang baru adalah tiga tahun lalu dan itu adalah barang bekas,” ceritanya.
Guna meminimalisir konsumsi barang, Greta mengaku lebih sering meminjam dari orang yang dikenalnya.
Baca Juga: Jangan Disepelekan! Ini Dampak Fast Fashion dan Perilaku Konsumtif Pada Ancaman Limbah Pakaian
Pada waktu yang terpisah, Aretha Aprilia, pakar manajemen limbah dan energi, menyampaikan kepada PARAPUAN bahwa masih banyak perusahaan yang greenwashing.
Menurutnya, greenwashing mengacu pada klaim menyesatkan perusahaan yang mengatakan bahwa mereka menerapkan bisnis yang beretika atau ramah lingkungan.
Aretha pun memberikan contoh, “Misalnya ada produsen yang berbohong bahwa mereka ‘green company’ dan menggunakan produk yang ramah lingkungan atau menerapkan recycle. Tapi sebetulnya kalau kita melihat kembali ke dalam, tidak seperti itu.”
Sayangnya, masih banyak konsumen yang terjebak dan menjadi korban greenwashing ini.
Maklum saja, kesadaran untuk memiliki gaya hidup yang lebih berkelanjutan oleh masyarakat tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup, sehingga masyarakat masih bingung dan sulit dalam memilih produk yang benar-benar punya tujuan baik bagi lingkungan.
“Kita tentu tidak bisa mengandalkan produsen untuk transparan. Maka balik lagi keputusan ada di tangan konsumen agar lebih bijak dalam mengonsumsi pakaian,” tutup Aretha.(*)