Parapuan.co - Kawan Puan, hari ini kita merayakan Hari Remaja Internasional yang jatuh setiap tanggal 12 Agustus.
Masa remaja merupakan waktu anak-anak mulai bertumbuh menuju kedewasaan, melihat dunia nyata, dan menjalin koneksi dengan orang lain.
Banyak pengetahuan dan pengalaman baru yang ingin dicari oleh anak remaja. Terkadang keinginan tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki orang tua mereka.
Tidak heran jika masa-masa remaja juga disebut sebagai waktu anak-anak mulai membangun tembok batasan antara diri mereka sendiri dan keluarga.
Gambaran mengenai fenomena tersebut dapat kita saksikan dalam film Dua Garis Biru (2019) karya sutradara dan penulis, Gina S. Noer.
Film ini menceritakan hubungan Dara (Adhisty Zara) dan Bima (Angga Yunanda), yang merasakan gejolak asmara di masa muda dan akhirnya melanggar batas hubungan remaja.
Film yang kini tayang di Netflix ini juga dibintangi oleh Lulu Tobing dan Dwi Sasono sebagai orang tua dari Dara, serta Cut Mini dan Arswendi Nasution sebagai orang tua dari Bima.
Baca Juga: Hari Remaja Internasional Dirayakan Tiap 12 Agustus, Begini Awal Mulanya
Dara, berasal dari keluarga menengah ke atas dengan orang tua yang cukup progresif namun tidak banyak waktu yang mereka habiskan bersama dengan anak-anaknya.
Bima, berasal dari keluarga menengah ke bawah dengan orang tua yang bekerja dari rumah namun cukup konservatif.
Kedua keluarga tersebut menumbuhkan anak-anak remaja dengan cara yang berbeda, namun film ini menunjukkan ada satu persamaan yaitu kurangnya keterbukaan antara anak remaja dan orang tua.
Di masa remaja, anak menemukan hal baru lewat internet, kelompok pergaulan, atau melihat langsung realita di luar rumah.
Maka, anak remaja butuh pendampingan dari orang tua sebagai wadah penyaring informasi yang dengan bebas mereka terima.
Sayangnya, keluarga Dara dan Bima tidak pernah meluangkan waktu untuk sama-sama terbuka terkait kehidupan anaknya di masa remaja.
Pada satu adegan di ruang UKS yang dramatis dan menegangkan, orang tua Dara tidak percaya bahwa anaknya melakukan kesalahan yang cukup besar dan melimpahkan amarah ke Bima.
"Selama ini, mama kira kamu bisa diandalkan," bunyi dialog ibu dari Dara.
Jika berbicara mengenai prestasi dan perilaku baik sebagai seorang siswi, Dara memang bisa diandalkan karena sedari kecil Dara mendapat tuntutan untuk selalu bersinar di sekolah.
Baca Juga: Film Keluarga Cemara: Mimpi dan Harapan Anak Menjadi Kekuatan bagi Orang Tua
Namun soal pergaulan, Dara tidak mampu untuk menceritakan kesehariannya, bahkan hubungan asmaranya dengan Bima kepada orang tuanya.
Dara menutup diri ketika harus membicarakan soal masalah pribadinya karena Dara menganggap orang tuanya hanya ingin mengenal sosok Dara yang cerdas dan fokus dengan mimpinya.
Orang tua Dara juga jarang ada di rumah, Dara selalu pulang dengan kondisi rumah yang kosong.
Dara tidak pernah memiliki wadah untuk diskusi, terutama soal hal-hal penting yang perlu diketahui oleh anak remaja seperti edukasi seksual dan batasan dalam pertemanan.
Ibu dari Dara juga terlihat cenderung kebingungan membagi perhatiannya antara pekerjaan, Dara, dan Puput, adik dari Dara.
Setelah adegan UKS tersebut, ibu dari Dara memutuskan untuk meninggalkan anaknya dan menyerahkannya ke orang tua dari Bima.
Dia juga menolak untuk berdiskusi di rumah karena merasa kini sudah tidak mengenal anaknya sendiri.
Ketika Dara sedang membutuhkan diskusi dan keterbukaan, tembok batas antara anak dan orang tua malah dibangun semakin tinggi.
Keluarga Bima juga tidak pernah memberikan ruang untuk antar anggota saling terbuka dan bercerita.
Beda dengan Dara yang tumbuh dengan orang tua yang sibuk, Bima setiap hari selalu bertemu dengan orang tuanya yang bekerja dari rumah.
Baca Juga: Rayakan Hari Remaja Internasional 2021 dengan Berani Bersuara, Yuk!
Namun, orang tua Bima masih sangat konservatif dan kerap kali menghakimi perilaku orang-orang di sekitarnya.
Hal itu membuat Bima merasa takut untuk dihakimi oleh orang tuanya sendiri, maka dia tidak pernah bercerita soal hubungannya dengan Dara atau bahkan soal teman-temannya di sekolah.
Pada satu adegan menjelang akhir film, ibu Bima meminta maaf kepada anaknya sendiri karena tidak pernah memberikan ruang bagi anaknya untuk terbuka.
Sang ibu juga mengatakan bahwa dia tidak pernah ingin membahas soal edukasi seksual karena takut Bima malah terjerumus.
Film Dua Garis Biru adalah gambaran realita yang ada di keluarga Indonesia ketika menghadapi anak-anak remajanya.
Baik itu keluarga yang cukup progresif atau pun keluarga yang konservatif, tidak adanya keterbukaan di keluarga menjadi masalah penting yang sering ditemui.
Tidak ada waktu yang diluangkan banyak orang tua untuk mendengarkan anak-anak mereka yang sedang menghadapi gejolak masa remaja yang membingungkan.
Anak remaja membutuhkan pendampingan tanpa harus merasa dihakimi dan film Dua Garis Biru menunjukkan risiko yang mungkin terjadi bila keterbukaan tersebut absen dari tengah keluarga.
Baca Juga: Film Moxie: Arti Gerakan Women Support Women Sesungguhnya dalam Perjuangan Melawan Sistem Patriarki
Anggapan yang salah soal edukasi seksual pada anak remaja serta keterbukaan terkait hubungannya dengan lawan jenis juga menjadi penghalang anak untuk mengetahui batasan yang perlu mereka patuhi dengan alasan logis.
Pada akhirnya, film ini berhasil menjadi refleksi penting tidak hanya bagi anak-anak remaja, namun juga orang tua yang berperan besar sebagai pendamping utama anak di masa remajanya.
Kejadian Dara dan Bima hanya satu dari banyak masalah di masa remaja yang dapat dicegah dengan adanya keterbukaan di tengah keluarga. (*)