Parapuan.co - Di usianya yang sebentar lagi akan 76 tahun, Indonesia mengalami berbagai rentetan peristiwa sejarah.
Peristiwa ini berpengaruh besar bagi negara kita, pun tak berbeda budaya Indonesia yang dekat dengan masyarakat kita.
Punya pengaruh besar, peristiwa dan budaya yang melekat di masyarakat menjadi inspirasi bagi karya para sastrawan Indonesia.
Baca Juga: Berawal dari YouTube hingga ke Wacken Open Air, Ini Perjalanan Karier Voice of Baceprot
Dari Gramedia.com, ini dia empat novel Indonesia yang menceritakan sejarah dan budaya Indonesia.
1. Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari
Novel karya salah satu sastrawan besar Indonesia, Ahmad Tohari ini mengangkat salah satu seni tari khas Indonesia, yaitu ronggeng.
Ronggeng sendiri merupakan tarian yang berkembang di pulau Jawa, khususnya di Tatar Sunda.
Tak hanya kesenian Indonesia, novel ini juga menggambarkan kondisi masyarakat daerah di Indonesia pada peristiwa politik 1965.
Cerita berpusat pada tokoh bernama Srintil, seorang anak perempuan muda yang menjadi penari ronggeng baru di Dukuh Paruk, desa tempat tinggalnya.
Di desa tersebut, kesenian ronggeng menjadi hal yang dibanggakan para warganya.
Selain memiliki bakat menari ronggeng yang begitu magis, Srintil juga memiliki paras yang menawan mata yang melihatnya.
Namun, sebagai penari ronggeng yang menjadi milik semua orang, Srintil kerap mendapat stigma negatif.
Namun, peristiwa politik di tahun 1965 membuat dukuh ini hancur, baik secara fisik maupun mental. Mereka terbawa arus dan dicap ikut andil dalam peristiwa tersebut.
Pengalaman pahit ini pun menimpa Srintil dan membuatnya sadar akan hakikatnya sebagai manusia.
Hal ini pula yang mendorongnya untuk memperbaiki citra dirinya.
2. Gadis Kretek - Ratih Kumala
Novel yang ditulis oleh istri Eka Kurniawan ini menceritakan tentang perkembangan industri rokok kretek, rokok yang berasal dari Indonesia.
Membaca novel ini, kamu akan menyelami industri kretek Indonesia di masa penjajahan Belanda hingga kemerdekaan.
Awal kisah dimulai dengan kegelisahan Lebas, Karim, dan Tegar, pewaris Kretek Djagad Raya saat ayahnya sedang sekarat.
Baca Juga: Jelang HUT RI, Yuk Kilas Balik Sejarah Kemerdekaan Indonesia Lewat Podcast Ini!
Saat itu, ayahnya kerap menyebut sebuah nama perempuan, Jeng Yah.
Mereka begitu heran sebab Jeng Yah bukanlah istri dari ayah mereka.
Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk mencari tahu sosok Jeng Yah yang berujung menguak rahasia keluarga.
3. Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer
Novel ini merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru sebelum Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Pram menggambarkan kondisi masyarakat pribumi akibat kekuasaan Belanda, mulai dari pergundikan, perlakuan semena-mena, hingga rendahnya strata sosial kelompok pribumi.
Dikisahkan, Minke merupakan seorang anak bupati yang bersekolah di Hogere Burger School (H.B.S.) Surabaya.
Baca Juga: Sambut Hari Kemerdekaan, 5 Film Pendek Ini Angkat Kebudayaan Masyarakat Indonesia
Secara tidak sengaja, Minke bertemu dengan Nyai Ontosoroh, perempuan keturunan pribumi yang mempertahankan usaha yang telah ia bangun bersama suaminya, Herman Mellema.
Minke pun jatuh cinta pada Annelies Mellema, anak bungsu dari Nyai Ontosoroh dan suaminya.
Tertarik dengan kehidupan Nyai Ontosoroh dan juga anak perempuannya hingga Minke tak hanya menjadi bagian dari keluarga mereka, namun memperjuangkan hak-hak pribumi yang tertindas.
4. Entrok - Okky Madasari
Berlatar masa Orde Baru, Okky Madasari memperlihatkan apa yang dialami rakyat kecil pada kala itu.
Marni adalah seorang remaja yang sangat menginginkan entrok atau bra. Pada masa itu, entrok bisa dikatakan sebagai pakaian orang berada.
Ia pun bekerja keras dan menabung untuk mendapatkan entrok.
Baca Juga: Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak: Simbol Perjuangan Perempuan Demi Kebebasan
Tak disangka, usaha kerasnya membuahkan hasil. Saat itu ia hidup serba berkecukupan dan telah berkeluarga.
Kisah dimulai ketika Marni yang masih memuja leluhur, tak pernah mengenal Tuhan.
Berbeda pandangan dengan anaknya, Rahayu, generasi yang mengenyam bangku sekolah, pemeluk agama yang taat, dan penjunjung akal sehat.
Selama bertahun-tahun, mereka hidup dalam perbedaan pemikiran, sampai akhirnya mereka menyadari ada kesamaan dalam hidup mereka.
Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang berkuasa. (*)