Dia tak pantang menyerah, karena Nyi Ageng Serang yakin selama ada penjajahan di Indonesia, maka dia harus siap tempur setiap saat melawan penjajahan.
Padahal saat itu, belum ada yang namanya kesetaraan gender, tapi Nyi Ageng Serang tetap maju melawan Belanda dalam perang Diponegoro dari 1825 sampi 1830.
Dia berperang bersama sang ayah, Pangeran Nataprasa.
Dalam sejarah, pertama kali perang yang dia ikuti adalah ketika Belanda melakukan serangan terhadap kubu pertahanan Pangeran Nataprasa.
Lantaran saat itu sang ayah sudah berusia lanjut, sang Pangeran pun meminta Nyi Ageng Serang untuk memimpin pasukan.
Baca Juga: Bukan HUT RI Ke-76, Ini Penulisan dan Ungkapan Tepat Merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia
Tak pantang menyerah, Nyi Ageng Serang langsung siap memimpin perperangan melawan tentara Belanda.
Namun, perjuangannya melawan Belanda harus berhenti, karena pasukannya tidak terlalu banyak. Terlebih, rekan perangnya, Pangeran Mangkubumi tidak bisa membantunya berperang.
Akhirnya, Nyi Ageng Serang yang masih bergulat dengan batinnya mau tak mau harus menyerah dan memilih jalan damai bersama Belanda.
Perdamaian itu pun dikenal dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Usai dari situ, Nyi Ageng Serang ditangkap oleh Belanda dan menjadi tawanan.