Parapuan.co - Nyi Ageng Serang juga menjadi Pahlawan Nasional perempuan yang banyak berjasa untuk Kemerdekaan Republik Indonesia.
Nyi Ageng Serang merupakan sosok pahlawan perempuan yang terjun di Perang Diponegoro tahun 1825.
Melansir Kompas.com, Nyi Ageng Serang saat itu sudah berusia 73 tahun ketika memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan pasukan Belanda.
Tak hanya membantu perang, Nyi Ageng Serang juga menjadi penasehat perang pada masa itu.
Baca Juga: Melihat Jejak dan Kendali Perempuan Memperjuangkan Mimpi dari Masa ke Masa
Diketahui, Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah
seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Awal Perperangan
Perempuan yang memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno ini juga sempat memberikan strategi perang dengan menggunakan lumbu (daun talas hijau).
Anak dari Pangeran Natapraja, penguasa wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram, Serang, merupakan keturunan bangsawan yang dikenal baik oleh rakyat.
Nyi Ageng Serang bahkan sudah mempersiapkan dirinya mengikuti perang dengan mengikuti pelatihan kemilitieran dan siasat perang bersama prajurit laki-laki.
Dia tak pantang menyerah, karena Nyi Ageng Serang yakin selama ada penjajahan di Indonesia, maka dia harus siap tempur setiap saat melawan penjajahan.
Padahal saat itu, belum ada yang namanya kesetaraan gender, tapi Nyi Ageng Serang tetap maju melawan Belanda dalam perang Diponegoro dari 1825 sampi 1830.
Dia berperang bersama sang ayah, Pangeran Nataprasa.
Dalam sejarah, pertama kali perang yang dia ikuti adalah ketika Belanda melakukan serangan terhadap kubu pertahanan Pangeran Nataprasa.
Lantaran saat itu sang ayah sudah berusia lanjut, sang Pangeran pun meminta Nyi Ageng Serang untuk memimpin pasukan.
Baca Juga: Bukan HUT RI Ke-76, Ini Penulisan dan Ungkapan Tepat Merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia
Tak pantang menyerah, Nyi Ageng Serang langsung siap memimpin perperangan melawan tentara Belanda.
Namun, perjuangannya melawan Belanda harus berhenti, karena pasukannya tidak terlalu banyak. Terlebih, rekan perangnya, Pangeran Mangkubumi tidak bisa membantunya berperang.
Akhirnya, Nyi Ageng Serang yang masih bergulat dengan batinnya mau tak mau harus menyerah dan memilih jalan damai bersama Belanda.
Perdamaian itu pun dikenal dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Usai dari situ, Nyi Ageng Serang ditangkap oleh Belanda dan menjadi tawanan.
Tak lama kemudian, perempuan kelahiran tahun 1752 ini akhirnya dibebaskan.
Nyi Ageng Serang pun dikirim oleh pemerintah Belanda ke Yogyakarta.
Dia pun menghabiskan waktu untuk memperdalam spiritualisme.
Akhir Perjuangan
Begitu lama Nyi Ageng memperdalam spiritualnya di Yogyakarta.
Lalu, tiba-tiba perang Diponegoro terjadi lagi, sehingga ini pun membangkitkan semangat pariotisme Nyi Ageng Serang.
Baca Juga: Perjalanan Fatmawati Soekarno dalam Kemerdekaan Republik Indonesia
Dia bersama suaminya, Kusumawijaya, pun turun ke medan perang mengatur segala strategi.
Sayang, sang suami pun harus gugur. Inilah yang akhirnya membuat Nyi Ageng Serang merasa tertekan.
Sebab itu, dia lalu melatih cucu laki-lakinya untuk terampil menyiasati perang melawan Belanda.
Barulah, Nyi Ageng Serang dan cucunya berperang kembali di pertempuran bersama Pangeran Diponegoro.
Dia diangkat oleh Pangeran Diponegoro sebagai penasehat perang.
Selang beberapa tahun kemudian, kondisi kesehatan Nyi Ageng Serang menurun di usianya ke-76.
Dia pun jatuh sakit dan meninggal dunia di tahun 1828.
Jenazahnya dimakamkan di Dusun Beku, Kulonprogo. Atas jasanya, Nyi Ageng Serang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia melalui Surat Keppres No. 084/TK/1974 pada 13 Desember 1974.
Baca Juga: Sempat Gagal Jadi Paskibraka 2016, Gloria Hamel Kini Punya Prestasi
Sekarang namanya juga digunakan untuk gedung Dinas Kebudayaan dan Permuseuman di Jakarta Selatan.(*)